Jaminan Kesehatan Orba Lebih Baik dan Lagu Iwan Fals Kehilangan Makna
Kemarin lupa persisnya di mana membaca ada postingan jika jaminan kesehatan era Orba lebih baik. Kemungkinan tulisan atau tayangan generasi muda yang sama sekali tidak tahu masa lalu. Generasi tua pemuja Mbah Harto, atau angkatan yang tahu kondisi nyata namun ada maksud, bahasa kasar telah terbeli Cendana.
Eh semalam, anak-anak remaja, usia Sekolah Menengah Atas, sambil berjaga dan mencari hiburan di tenagh kesuntukan main gitar dan menyanyikan lagi  Iwan Fals. Mereka ini jelas generasi 2000-an, yang 90-an lahir saja tidak ada. Nah terdengar asyik namun makna dan di balik kisah lagi itu tidak ada sama sekali.
Mungkin sama juga menyanyikan lagunya Kla Project soal Jogyakarta. Asyik, menarik, riang, namun bagi yang belum pernah ke Jogyakarta ya akan semata membayangkan, bukan menghayati sebagaimana Katon merasakan sensasi hidup dan berdinamika di Jogyakarta yang penuh kenangan.
Ilustrasi lain, anak-anak menyanyikan lagu-lagunya almarhum Didi Kempot yang semata senang, riang, riuh rendah, tapi patah hati saja belum pernah ya tidak akan persis sama dengan apa yang ditampilkan oleh Didi Kempot atau pelaku yang pernah merasakan patah hati.
Orba dan Gambarannya
Lagu-lagu Iwan Fals sangat tepat guna jika dinyanyikan 20-30 tahun lalu. Lha kini ya hanya sekadar hiburan, kritik kepada pemerintah, anak sekolah dasar saja bisa saat ini, tidak taku ditangkap intel, dulu tentara, bukan polisi  jika berbicara soal kritikan pada negara. Ingat kritik pada negara bukan kepala negara.
Lihat kini langsung tunjuk hidung Jokowi, bukan presiden tapi pribadi. Pembohong, gambaran pinokio sangat mudah kita temui. Generasi sekarang  cenderung suka judul, abai baca. Berita koran baik OL apalagi cetak mereka enggan baca. Begitu banyak limpah bagaimana gambaran dan perilaku Orba demi mempertahankan kekuasaan. Anak-anak ini sama sekali tidak tahu.
Pemuja masa lalu, jelas karena mereka ikut kenyang, jangan harap bisa ikut kue pembangunan seperti sekarang pada masa itu. elit Golkar, Jenderal AD, dan sedikit elit ekonomi tertentu saja, salah satunya Aburizal Bakrie dalam kampanye bagi Golkar 2014 mengambil jargon, enak zamanku to? Dengan gambar Soeharto tersenyum.
Kelompok ini masih cukup banyak, eksis, dan mau kembali karena akses dalam mengeruk kekayaan negeri ini sangat terbuka bagi kalangan mereka. Akhir-akhir ini kran itu satu demi satu dikunci dan dimanfaatkan bagi pembangunan negara. Apakah mereka rela? Mana ada sih yang rela ketika pernah berpesta dan kini diminta kerja keras?
Abu Rizal mungkin pada saat itu optimis bisa menarik simpati masa lalu, tapi lupa bahwa generasi 98 sudah demikian banyak yang memegang peran dalam partai politik dan juga lini-lini hidup berbangsa. Jadilah ia tereliminir bahkan hanya untuk sekadar cawapres. Ironis karena salah di dalam menjual masa lalu kelam yang masih banyak yang ingat, bahkan saksi sejarah secara langsung.