Balasan Sri Mulyani untuk Jokowi
Jangan memberikan suasana kepada anak buah bahwa mereka yang sudah bekerja dengan baik menjadi kecil hati karena takut intimidasi, dikorbankan, atau ditekan oleh pihak lain.
Salah satu pesan Sri Mulyani ketika pamitan 10 tahun lalu persis karena mau pindah ke Bank Dunia. seolah itu adalah promosi, namun sangat mungkin juga dimaknai sebagai sebuah "tumbal" politis karena skandal Century yang masih juga belum ada titik jelasnya hingga hari  ini. Ungkapan yang cukup keras, bagi seorang akademisi, bukan politikus.
Bisa saja ungkapan dan pesan itu normatif untuk memberikan kekuatan, motivasi, dan dukungan bagi anak buah. Konteks perpolitikan yang membuatnya berbeda, dan bisa mendapatkan tafsiran demikian.  Sah-sah  saja namanya tafsiran, ketika ada penunjang lain, jadi bukan asal-asalan. Sudah ada indikasi awal yang cukup.
Pertengahan 2016, Presiden pengganti yang mengutus Sri Mulyani ke Bank Dunia, meminta balik untuk menjadi Menteri Keuangan. Itu berlanjut hingga pemerintahan berganti. Kapasitasnya memang mumpuni sebagai seorang profesional. Ternyata cukup keren juga dan tangkas dalam menyikapi perihal politik. Tampak dalam minggu ini, sudah dua kali tamparan telak untuk pemain politik yang berkaitan dengan keuangan.
Kisah pertama, Menteri Keuangan era Orba, Fuad Bawazier yang mengatakan soal anggaran untuk covid. Dengan telak dijawab, bahwa ternyata si mantan itu bingung membaca APBN. Lha menteri keuangan lho, membaca APBN saja bingung, ya pantes saja usai Orba hanya menjadi pengelana. Apakah ini serius?
Jelas tidak. Mana mungkin sekelas menteri, dirjend pajak era Soeharto tidak paham membaca APBN. Namun jawaban dan pernyataan dari Sri Mulyani itu sangat politis. Tidak perlu berpanjang lebar atau bertele-tele. Pelaku yang harus dijawab itu orang politik, bukan ekonom yang mencari fakta dan kebenaran.
Jawaban ekonomis dan hitung-hitungan sedikit saja, jauh lebih penting pernyataan politis. Dikatakan bingung membaca APBN jelas sudah sebuah tamparan bagi seorang ekonom, mantan menteri pula. Berbeda jika sama-sama ekonom tanpa politis, akan dikatakan, coba baca lagi yang benar.
Memang tidak cukup heboh pembicaraan ini, hanya ada sebuah pemberitaan. Tidak berpanjang lebar karena Faud Bawazier juga tidak menjawab atau merespons kembali. Malu mungkin, atau tidak cukup strategis. Wong sasarannya itu Jokowi juga.
Belum sepekan, sudah menunjukkan permainan politiknya lagi. Kali ini korbannya adalah Anies baswedan, ketika dibukan kedoknya banyak omong dalam pandemi ini. ternyata 1.1 juta warga Jakarta akhirnya ditopang oleh pemerintah pusat untuk bansosnya.
Jakarta, pemerintah pusat memikirkan soal kemanusiaan. Di  mana warga negara sedang kesusahan dan tidak boleh mudik, perlu ditanggung kehidupannya. Padahal sejak awal teriak-teriak lock down, ternyata hanya omong gede, tanpa ada apa-apa yang sudah dan bisa dilakukan. Cukup cerdik ketika Sri Mulyani menyatakan dua rekan menterinya di dalam menyikapi keadaan ini.