Politik hiruk pikuk memang seolah sudah menjadi gaya hidup berdemokrasi negara ini. Wajar juga ketika sudah mengalami kediktatoran puluhan tahun. Di mana berpeda berarti bui atau lenyap, kini alam pikir kebebasan dan ndilalah, presidennya bukan kalangan elit. Euforia yang berlipat ganda tersaji.
Suka atu tidak, rela atau berat hati, toh tidak sekadar SARA yang bermain dalam hidup berbangsa ini. Perbedaan asal kampus, atau asal muasal masa lalu dalam birokrasi bisa menjadi pembeda yang mencolok. Militer atau polisi dari akademi atau dari perwira karir sarjana bisa menjadi ajang dikotomi yang cukup kuat.
Pos menteri ini harus dari afiliasi ini, kementrian itu jatah dari sana, atau sini. Ini fenomena yang masih demikian ketat dan kental. Ironis zaman modern, makin maju, namun pergantian apapun itu menjadi heboh. Agama, politik, dan tidak jarang suku, atau asal-usul kampus pun ikut memanaskan suasana. Ormas apa nantinya di mana, jangan diganti dari yang berbeda. Ini sudah harus berubah dan dengan berat hati harus siap.
Sistem bekerja, profesionalisme harus lebih menjadi ukuran. Prestasi sebagai modal untuk bisa menjadi apapun. Pengetahuan dan kemampuan menjadi kendaraan untuk menjadi apa saja. Selama ini hanya itu lagi itu lagi untuk bisa menjadi elit di manapun berada. Mau dinasti itu tidak menjadi soal, asal kapasitas dan proses yang terjadi juga dijalani. Kesalahan itu tidak pada posisi soal keturunan namun cara untuk meraih jabatan.
Pergantian komisaris terutama BUMN itu hanya salah satu hal kecil dalam bernegara ini, namun mengapa begitu riuh rendah dan ke mana-mana. Salah dua atau tiga yang bisa disebut, ada Ahok dengan ancaman demikian masif ketika mau diangkat menjadi komut Pertamina. Gelombang penolakan dengan sangat keras dan melibatkan agama, politik, dan juga mengaitkan dengan hukum.
Erick Thohir melaju dan tidak mau tahu dan Ahok tetap menempati posnya. Pelaku yang dulu galak dan garang juga kini secara tidak langsung menjadi anak buah Ahok. Toh ternyata berjalan juga, dan ke mana suara lantang mereka? Sama sekali tidak ada lagi.
Said Didu. Jauh lebih lama sih sudah tidak lagi mendapatkan tempat. Padahal pada masa lalu sangat istimewa. Jabatan demi jabatan diemban dan tentu saja sangat sibuk jadi diam. Sangat bisa dimaklumi. Iyalah kan sibuk kerja sana karya sini, jadi tidak sempat meributkan kerja pemerintah. Apa karena kenyang? Ya bisa ya bisa juga tidak.
Berada pada gerrbong yang berbeda seolah ada jawara dan melontarkan serangan ke sana ke mari, apakah salah? Tidak juga, wong mengaku sebagai kritikan. Entah kritik beneran atau tidak, toh pemerintah juga melaju dengan tujuannya. Semua ada mekanismenya. Melempari kereta mungkin bagi abg itu prestisius, namun bagi PT KAI itu adalah perusakan, dan bagi penumpang itu adalah teror yang menakutkan. Seperti itu memahaminya.
Refli Harun ketika pamitan melalui media sosial telah menyatakan sikapnya. Jelas, gamblang, dan lugas. Nah tidak kaget ketika dalam sebuah acara media sosialnya ia mengundang  seorang yang sudah dikenal pada barisan yang berbeda. Kapasitasnya juga tidak pas ketika membahas pernyataan Prabowo. Politikus juga bukan, mengakunya sih ulama, toh tidak juga ada kajiannya yang bisa menjadi pembangun sisi spiritual bangsa. Nah ketika kapasitas orang demikian yang diundang, menanggapi sebuah kejadian politis, apakah patut diapresiasi sebagai sebuah kritikan?
Tudingan Buzzer, Penghianat, dan Klaim Kritik
Politik berbangsa sudah cukup nyaman, usai pelantikan presiden Oktober lampau. Laju pembangunan seolah akan mulus, namun tiba-tiba covid datang dan itu membangunkan gerbong barisan sakit hati dan politikus oposan yang sedang hibernasi. Amunisi mereka habis-habisan untuk pemilu dan pilpres. Pandemi seolah bahan bakar baru yang demikian kuat. Pelaku yang itu lagi itu lagi berpesta  pora dengan lagak lagu yang sama.