Ke Mana Anies?
Kemarin ramai pembicaraan rilis hasil survei dari lembaga Median. Hasilnya sudah seperti yang diduga menempatkan Anies pada posisi jawara dan Risma pada posisi buncit. Artikel ini tidak hendak membahas itu. Wong aneh, Risma itu walikota, tidak sebanding dengan Anies, kecuali mau memperlihatkan keberadaan yang memang tidak pas itu.
Eh pagi-pagi malah tayangan di mana Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengunjungi asrama mahasiswa Papua di Salatiga. Dampak pandemi tetap terjadi, dan mereka tidak bisa membayar air sehingga aliran airnta diputus pihak PDAM. Tagihan langsung dibayar oleh gubernur, sehingga mereka kembali menikmati aliran air. Air jelas sangat vital untuk kehidupan.
Sore ini ada khabar cukup menggembirakan, adanya harapan baik, bahkan kata juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Juli kehidupan sudah akan kembali normal. Pengurangan cukup signifikan di Jakarta, dan ada kecenderungan flat, mendatar, tanpa ada kenaikan yang berarti. Sudah ada tanda-tanda berakhirnya pandemi ini, minimal sudah bisa bernafas cukup lega dengan angka-angka positif yang ada.
Tumben konpres Jakarta, bukan dilakukan oleh Gubernur DKI, yang biasanya selalu up date, bahkan tidak jarang mendahului pengumuman pusat. Yah biar saja, asal senang dan tidak membuat gaduh. Toh semua juga paham siapa yang bekerja dan siapa yang mengaku dan merasa bekerja. Itu masyarakat yang menilai. Klaim tidak cukup berguna.
Biasanya selalu hadir menyampaikan berita dengan khas dramanya. Angka-angka yang dibuat sedemikian menakutkan, hingga menyatakan 6000 penderita jika tidak disikapi denga benar-benar dalam dua minggu. Syukur bahwa sekian lama masih pada kisaran 3000. Padahal ada hal menggembirakan, mulai membaik, kog malah tidak datang.
Pilihan dugaan kedua, cukup tahu diri, karena perkembangan ini jauh lebih banyak yang melakukan adalah Gugus Tugas Pusat bersama kementerian terkait. Wong nyatanya data amburadul yang merupakan kewenangan daerah. Pasar masih ramai, kumpulan demi kumpulan tercipta dan itu adalah ranah pemerintah daerah.
PSBB, jalanan masih ramai, malah menuding kemenhub dengan KRL-nya yang tidak dihentikan perjalanannya. Ini jelas mempertontonkan, ketika tempat usaha, perkantoran, dan juga nakes banyak yang menggunakan KRL, karena domisili mereka ada di luar kawasan PSBB.
Polemiknya yang dibesar-besarkan, bukan bagaimana mengatasi yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Jalanan masih ramai, pasar masih biasa, tempat ibadah beberapa masih aktif tanpa adanya perubahan yang signifikan. Laporan pengidap terus saja berdatangan. Tetapi yang dilakukan berbeda dengan yang dinarasikan.
Drama ketika ada yang tergeletak karena tidak ada uang untuk membayar kost atau kontrakan, lagi-lagi bergetar. Namun tindakan nyata juga tidak ada. Bergetar ini sampai keluar dua kali. Yang dulu sampai membuat heboh karena ditengarai ada permainan di balik media yang mengabarkan dengan judul yang hampir seragam. Â Yang dinyatakan soal kematian.
Seolah negara abai dengan  kematian demi kematian yang terjadi. Ingat, yang  mengatakan itu juga bagian utuh dari pemerintah. Entah pemikirannya apa, bisa menglaim diri berbeda dengan yang ada. Ketika ramai-ramai pejabat lain menyatakan harapan membaik, melakukan pencegahan dengan relatif, berhasil. Ada satu yang bergetar memainkan narasi kematian.