Media, perlu mengaji  jatidirinya. Berbeda dengan opini, sangat mungkin meskipun sangat memaksa masih bisa diterima nalar. Jika berita, reportase, kan aneh. Click menjadi panglima, dan itu tidak sepenuhnya benar. Masih banyak hal yang bisa dilakukan dari pada sekadar kontroversi.
Berita, pernyataan baik, penuh harapan, kisah damai-cinta, dan kesatuan juga akan mendapatkan tempat. Pembaca dan masyarakat harus diedukasi, bukan malah terus-terusan dicekoki dengan keadaan yang tidak spenuhnya baik dan benar.
Pamitan Refli Harun
Identik dengan yang ada, pernyataan pamit Refli Harun ada beberapa hal yang layak dilihat. Pertama, terima kasih pada RS yang mengangkat saya. Jelas normatif, karena memang era Menteri BUMN RS yang mengangkatnya. Ini wajar dan sangat biasa, layak ada apresiasi. Jelas menunjukan kronologi waktu era kabinet lalu.
Kedua, terima kasih pada Erick Thohir yang memberhentikan. Â Ini masih bisa dinyatakan wajar, namun ketika dikaitkan dengan pernyataan pertama dan selanjutnya menjadi ada ketidakwajaran. Berkaitan dengan pengangkatan era menteri lampau, cukup layak diganti pada masa menteri yang lain.
Ketiga, terima kasih pada presiden yang mengangkat dan memberhentikan. Layak, namun ketika disambung dengan mohon izin di luar untuk meniup peluit lebih kencang menjadi lebih memberikan tanda tanya.
Kritikan itu harus, tetapi jelas dengan ingat ranah etik dan kepatutan. Mosok anak mengatakan bapaknya tidak mau bekerja maunya hanya ngerokok dan ngopi di rumah, tanpa mau tahu rumah tidak ada beras, dan itu dilakukan di warung kopi dengan banyak pengunjung? Tidak salah, faktual, tetapi apa pantes hal demikian? Itu saja.
Coba jika bagus lagi, jika memang mau memperbaiki ya tidak usah teriak-teriak melalui media sosial atau media. Katakan langsung. Jika sudah mentok, nyatakan pada jalur yang lebih etis. Lucu saja ketika kinerjanya tidak lebih baik, namun mengurusi ranah lain yang sama-sama tidak bagus. Hampir semua pejabat di Indonesia bermodel yang identik.
Pergantian demi penyegaran untuk lebih baik itu sebuah keharusan dan hal yang lumrah semata. Menjadi aneh dan berlebihan ya hanya di Indonesia, ketika semua-mua dikaitkan dengan politik, apalagi ketika agama ikut di dalamnya.
Usaha dan badan usaha ya berorientasi pada keuntungan. Parameternya jelas, bagaimana perusahaan itu untung, memperikan dampak baik bagi pemerintah, atau sebaliknya. Peran penting pelayanan sosial yang lebih baik atau masih sama saja. Itu parameter yang bisa dijadikan acuan.
Sayangnya selama ini, BUMN malah sebatas memindahkan uang negara menjadi milik pribadi dengan seolah-olah legal, dengan memanfaatkan celah regulasi yang memang sejak awal ada upaya demikian di dalam penyusunannya.