Sikap dan Reaksi Massa
Cukup bisa dipahami, ketika pemerintah memilih opsi ini. Harapan orang  banyak yang maunya bergegas untuk segera jelas. Toh pemerintah memiliki pertimbangan bukan sekadar kesehatan, ada pula sosial dan ekonomi. Ini bukan soal mengabaikan kemanusiaan.
Mau memikirkan manusia namun mengabaikan sosial ekonomi ya sama saja bodong. Kemanusiaan jauh lebih gede dari sekadar apa yang orang atau pihak pikirkan. Negara ini bukan hanya Jakarta atau Jawa saja. Dampak yang dipikirkan pemerintah sangat luas, termasuk hubungan dengan luar negeri. Jangan naif lah memikirkan hitam putih relasi dan diplomasi internasional itu.
Lihat saja penjualan masker dan handsanitizer, bagaimana harga bisa gila-gilaan seperti itu. Padahal itu bukan hal yang pokok. Ini soal sikap batin dan perilaku calo, mencari keuntungan sendiri dan kelompok lebih gede. Ide atau gagasan elit bisa dibaca ke mana muara atau arahnya.
Sikap Ketaatan akan Azas
Lihat saja, bagaimana ketaatan atas azas, konsensus, dan kebersamaan. Lebih mengedepankan ego dan kepentingan sendiri. Ini juga soal mental calo di atas. Sok tahu menjadi masalah lain. Laporan, berita banyak menayangkan orang seenaknya main bilyard. Lah pesantren tetangga ini seminggu pengajian dua kali. Belum lagi para pemuka agama, yang maaf mungkin demi materi tetap bersikukuh untuk tidak patuh pada aturan yang lebih tinggi.
Ada yang membandingkan mengapa rumah ibadah tutup, mall buka. Padahal itu tidak cukup sebanding, bahasa kerennya tidak apple to apple, satu duku satu langsat. Mirip tapi tetap berbeda dakam banyak hal.
Model pendekatan massa latah, panik, dan egois menjadi pertimbangan pula. Konsekuensi logis, ketika banyak info sepotong-sepotong. Yang terkesan adalah  pembohongan. Wajar sih pilihan ini, ketika lihat model latah, panik, dan ngaco itu lebih kuat.
Orang ada yang mendesak untuk jujur  saja, biar pada melek. Gak juga, beda. Taraf berpikirnya sangat lain. Lihat saja ada bom saja jualan kacang. Konteks tertentu baik, pada kondisi lain ini bumerang. Yang harus waspada abai, dan yang tidak perlu ditakuti malah cemas berlebihan.
Masih banyak raja tega, lihat saja bagaimana banyak akun media sosial, dan mereka banyak penggemar, bisa melakukan pembentukan opini dengan begitu tidak kenal  bahasa manusia. Mosok bicara nilai tukar rupiah. Memang ada di dunia yang ekonominya membaik dengan pandemi seperti ini? Semua kena kog. Kan lebay jika menuntut ada perbaikan ekonomi.
Pihak lain menarasikan ini adalah pengalihan atas isu tertentu. Lah ketika 180 lebih negara, siapa yang mengalihkan dan dialihkan. Konteks dalam negeri loh ya. Okelah bagi penyuka teori konspirasi silakan menerka-nerka, toh itu haknya. Namun cukup berbeda ketika dikaitkan dengan kondisi dalam negeri. Jauh berlainan.