Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tahbisan Uskup, Politik, dan Hukum Gereja

21 Maret 2020   12:58 Diperbarui: 21 Maret 2020   13:17 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi pro dan kontra. Ngeyelan, saatnya hirarkhi dengar umat, atau sejenis terlontar. Hiik...hiik lucu lah pokoknya. Keputusan yang sangat tidak mudah, ketika lokal setempat tidak merasa bahwa ada ancaman. Ini memang sangat sulit. Mengapa? Karena merasa baik-baik saja. Tidak heran ada yang menyamakan dengan maaf kadrun. Kita selama ini berjuang melawan kadrun, eh ternyata di dalam juga banyak kadrun. Hik...hik lucu, lha juga memaksakan dirinya benar begitu kog. Lah apa bedanya coba?

Perlu dicamkan, keputusan apapun, mau meniadakan Misa atau tetap mengadakan, mana ada sih Uskup yang akan menyengsarakan umatnya. Pasti mempertimbangkan dengan lebih luas dan lebih mendalam. Benar bahwa mereka juga bisa salah, karena tetap manusia. Namun ada keunikan Gereja Katolik yaitu ketaatan. Dan ketaatan itu tentu tidak serta merta bisa diiyakan, ataupun dibantah.

Vatikan memiliki pertimbangan  matang soal Paskah, itu jelas. Dan Keuskupan-keuskupan di Indonesia tentu juga memiliki kondisi yang berbeda-beda, tidak akan bisa menyamaratakan dengan satu kata, semua harus sama. Tidak. Kegentingan itu juga menentukan. Memang akan baik dan ideal, jika semua ikut serta.

Potensi itu jelas tidak bisa diketahui dengan pasti. Semua masih meraba-raba kemungkinannya akan seperti apa. Dan salah memilih bisa berantakan semua. Belajar dari Gereja Kristen di Korea, di mana separo jemaatnya terkena, ini tentu sangat penting untuk menjadi perhatian bersama.

Mau meniadakan atau tetap melaksanakan itu ada konsekuensi logisnya. Jika baik-baik saja ya akan santai, pasti dilupakan. Tetapi jika satu saja positif, jangan pikir akan dilupakan dalam waktu singkat. Cap dan stempel selamanya tetap tersemat, Uskup atau Imam bebal, keras kepala, ngeyelan, dan seterusnya akan menempel.

Tentu tahu dengan baik kondisi Gereja, bagaimana rupa-rupa mereka, bukan untuk memuja dan menjadikan pejabat Gereja sebagai panutan yang tidak bisa salah. Sangat mungkin keliru pun ada, tetapi tetap bisa bijak di dalam menilai.  Keputusan itu sangat berat, memang awam jauh lebih berat dan tahu, dan kadang tidak diajak untuk berbicara.

Berdiskusi dengan  kepala dingin, bukan memaksakan kebenaran, menyaring lebih luas informasi tentu lebih baik. Dan itu kadang perlu waktu dan sangat biasa dinilai sebagai lamban. Alon-alon asal kelakon lan slamet kadang juga penting. Lha dari pada kebat klewat?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun