Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gadis NF dan Bupati Luwu Utara, di Antara Tabiat Gumunan

10 Maret 2020   18:50 Diperbarui: 10 Maret 2020   19:04 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bupati Luwu Utara dan Gadis NF di Antara Tabiat Gumunan dan Sotoy

Beberapa waktu terakhir, lini massa media sosial dipenuhi dengan dua peristiwa ini. Kisah toleran yang dilakukan Ibu Bupati Luwu Utara. Sejatinya itu normal-normal saja, sebuah hal yang biasa, namun karena di tengah keadaan bangsa yang krisis toleransi menjadi luar biasa.

Kisah kedua mengenai pengakuan seorang gadis cilik NF yang mengaku kepada polisi telah membunuh  anak-anak teman bermainnya. Bagus status media sosial Kner Naftalia Kusumawardani. Di mana menyatakan masih terlalu dini mengatakan NF ini begini dan begitu. Toh banyak sudah yang memberikan stempel atau label psikopatlah, kejamlah, anak kog begitu dan begini. Atau keluarganya juga mulai dianalisis yang sayangnya belum tentu demikian.

Masih terlalu dini, ketika itu hanya pengakuan, belum ada bukti lain ia yang membunuh. Pun mengenai dugaan menyiksa binatang, kejam, dan seterusnya. Masih perlu data pendukung dan itu adalah perlu wawancara mendalam oleh ahlinya. Tidak hanya berasal dari pemberitaan.

Kedua hal yang identik. Bagaimana tampilan Bupati Luwu  Utara yang melakukan peletakan batu pertama pembangunan gereja. Bantuan sekian ratus zak, dan itu sebagai seorang kepada daerah kan wajar. Normal dan tidak ada yang aneh atau luar biasa. Kewajiban malah dan salah satu tugas sebagai pemimpin. Tentu bukan dalam arti mengecilkan peran Ibu Bupati yang sangat berani di tengah arus aksi intoleran berani seperti ini.

Yang menjadi bahan permenungan adalah, bahwa demikian mudahnya bangsa ini, terutama pegiat media sosial untuk mudah gumun. Gumunan, ini masih terlalu dini  ketika disebut sebagai calon presiden, pemimpin masa depan, dan seterusnya.

Seolah bangsa ini sudah krisis parah, ada aksi normal sedikit saja sudah heboh. Benar memang negara ini sedang dalam kungkungan aksi intoleransi. Namun tidak buruk-buruk amatlah. Jangan malah menjadi skeptis seperti KPK yang membuat jargon, Jujur itu Hebat. Jujur itu sebuah keharusan  kog bukan kualitas atau prestasi.

Anak bangsa kog gumunan. Perlu ingat nasihat Semar, aja gumunan. Hal yang sangat Indonesia ini dulu. Mengapa sekarang seolah menjadi barang antik yang begitu mengharukan, seolah-olah mukjizat dari langit. Atau hujan usai setahun panas menyengat. Tidak demikian. Memang negara tidak baik-baik saja, namun juga tidak separah itu juga.

Sisi lain, ketika mengomentari gadis NF, seolah sudah ahlinya ahli.  Benar bahwa ini harus dicermati dengan lebih sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Namun ketika menganalisis dan kemudian menyimpulkan seolah si gadis sudah pasti ini dan itu tentu ini lebay dan sotoy.

Kembali, sifat gumunan dan kemudian menjadi gupuh. Seolah sudah menjadi budaya cepat untuk menyimpulkan apa yang bukan bidang dan keahliannya. Peduli dan perhatian itu berbeda dengan menempelkan label dan memberikan simpulan ini dan itu. 

Mengapa sekarang seolah bangsa ini menjadi bangsa yang gumunan dna gupuh miskin esensi?

Pertama. Viral. Ini menjadi kata dan fokus pemain media sosial, SJW, dan pencari uang dari hits. Boleh tenar, tidak salah mencari uang dari hits, namun masih perlu juga mengingat kebenaran dan ranah etis. Cepat dan menjadi viral seolah adalah segalanya. Ketika itu ramai, ikutlah di sana, meski kadang bertabrakan dengan kenyataan yang lebih mendasar.

Tindakan Ibu bupati itu kan biasa sebenarnya. Menjadi heboh karena seolah asing, tidak demikian tabiat bangsa ini. Kebenarannya adalah itu biasa. Lucu ketika yang biasa menjadi luar biasa. Yang salah itu malah seolah benar.

Kedua. Atas nama eforia Orba yang terkekang, sehingga seolah semua menjadi ahli abai akan nilai banyak hal. Melanggar privasi, praduga tak bersalah, dan melebihi keilmuannya. Dalam kasus gadis NF. Prihatin boleh, namun kan tidak harus lebay dan melebihi kepatutan. KPAI dengan mengatakan guru BP-nya harus tahu segala. Jelas ini sudah berlebihan. Tidak sesederhana itu juga kog.

Lebih baik kan berilah perhatian kepada anak. Tidak malah menduga ada apa dengan si bapak. Lha malah ke  mana-mana. Bapaknya pasti malu dan sedih, bukannya dibantu malah sudah dihakimi. Pelaku itu juga perlu dibantu tidak malah dimusuhi.

Empati itu seolah sudah lenyap, berganti dengan penghakiman yang melebihi kapasitas juga. Kembali point pertama demi viral dan tenar. Abai akan ranah lain.

Ketiga. Suasana hidup bersama yang tidak kondusif, berbuat dengan maksud. Pencitraan, dan politik yang menjadi agenda. Politik dalam artian politik praktis abai etis. Di sana, para pelaku politik mengumpulkan suara, nama, dengan slogan pokok tenar, meskipun dengan jalan cemar sekalipun.

Ini menjadi gelaja umum. Orang enggan berproses, pokoknya tenar dulu. Soal jalan tidak penting. Ini kan masalah, ketika adanya UU ITE. Kebat kliwat, maunya cepat malah menjadi sia-sia.

Keempat, atas nama kebebasan berpendapat, kemudian berpendapat yang asal-asalan. Pokoke menjadi andalan. Pemikiran ini menjadi keprihatinan. Tanpa mau tahu kajian dan ulasan yang kebih mendalam. Menjadi lebih repot ketika model demikian dipakai demi kepentingan politik.

Pencitraan ala politikus enggan kerja keras kan menggunakan metode ini. Dan mereka  hanya membayar orang untuk menggaungkan mereka dengan narasi bentukan yang bertujuan mengubah persepsi publik. Semua lini hidup akhirnya terpengaruh.

Kelima. Masih dominannya pelaku media sosial namun minim literasi. Enggan membaca dengan luas, asal ikut-ikutan. Nah demi viral namun enggan mencari data, akhirnya jadi pribadi gumunan. Copasan menjadi andalan, membagikan yang ia tidak paham.

Keenam. Ini lebih memilukan, pelaku media abai konsensus dan taat azas. Bagaimanapun kebebasan itu tidak ada yang mutlak. Nah berlomba-lomba cepat abai akibat. Ketika kena kasus hukum mewek. Pertanggungjawaban itu penting. Lagi-lagi miris, pelaku model enggan mengakui kesalahan biasanya pejabat publik.

Cepat itu baik, sepanjang bisa dipertanggungjawabkan. Gumunan, itu perlu ditinggalkan dan menjadi pribadi yang mau melihat dengan luas itu lebih penting.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun