Sesat Logika Anies Sholeh Memindah Hujan Hanya Akhir Pekan
Cukup menarik  mendengar dan mencermati pernyataan, karena gubernurnya  sholeh, maka hujannya hanya akhir pekan. Beberapa hal dapat dilihat sebagai sebuah permenungan, ingat sholeh sebagai bahasa spiritual, merenung sebagai hal yang tepat. Evaluasi berarti ketika kata yang dipakai adalah rajin. Karena etos kerja yang rajinlah, banjir bisa diatasi. Ini berbeda.
Minimal tiga hal, sesat logika yang bisa kita lihat. Pertama, apakah si pelontar pujian itu benar-benar mempertanyakan, apakah Anies, benar berdoa memohon hujan untuk pindah di akhir pekan. Ini ada dampak lanjutan. Selengkapnya nanti.
Kedua, apakah hak prerogatif dan Kemahakuasaan Tuhan sudah berkurang, sehingga justru kesholehan insan yang lebih dominan. Dan itu sudah terpatahkan ketika hujan dan banjir terjadi pada awal pekan.
Ketiga, ini kaitan paling fatal berfikir sektarian. Memangnya banjir dan  hujan itu seperti piknik. Beli tiket pulang, selesai? Tidak. Sama sekali tidak demikian. Lihat dampak banjir awal tahun yang hampir dua bulan, belum sepenuhnya selesai, dan datang lagi, berarti kembali bebersih, atau malah membeli perabot lagi.
Nah dari tiga hal tersebut nampak jelas hanya pembelaan diri yang sangat dangkal, tidak rasional, asal seolah-olah baik, bagus, benar, dan faktual. Aslinya menyesatkan.
Pertama, apakah Anies benar-benar berdoa dan mendoakan untuk memindahkan hujan pada akhir pekan? Jika tidak, berarti dia bertindak dan bersikap berlebihan. Malah bisa dikatakan sok tahu. Berbeda jika ia tahu dengan persis. Sepanjang ini, Anies tidak menanggapi hal tersebut. Jadi masih ada kemungkinan iya, ataupun tidak. Berbeda jika doa itu publik tahu, misalnya ketika memohon dalam aksi bersama, atau sembahyang bersama. Di Senayan atau Monas, ini kan tidak.
Bisa kemungkinan itu adalah membual atau klaim yang hanya untuk menampilkan hal yang seolah-olah religius. Jika demikian, ini mengerikan. Ada upaya menggunakan terminologi keagamaan, religiusitas yang padahal sejatinya malah jauh dari sifat orang beragama. Minimal bertanggung jawab saja tidak, kog malah mengatakan doa yang sangat 'sakti' sehingga memindahkan jam tayang, eh  jam hujan.
Malah lebih heroik dan sholeh lagi, jika hujan itu pindahkan saja ke tengah laut, mengapa hanya dipindah waktu dan akhir pekan. Dampaknya sama saja, akhirnya awal pekan juga tidak bisa bekerja. Atau belum terpikirkan untuk memindahkan hujan, bukan jam turunnya hujan?
Kedua, sependek pengetahuan, semua agama sepertinya mengajarkan jika Tuhan Mahakuasa. Kekuasaan Tuhan mutlak, termasuk mengenai hujan dan menjawab doa. Artinya bukan semata doanya yang utama, namun adalah kehendak Tuhan terlebih dahulu. Mau sholeh seperti apa toh jika berbeda dengan kehendak Tuhan, manusia tidak dapat apa-apa. Jelas contoh orang sholeh menderita sebagaimana Ayub. Agama Abrahamik tahu kisah ini dan tidak ada perbedaan.
Dari sana bisa memperkirakan, jika kesholehan Ayub itu tidak mengubah keadaan. Apakah kesholehan Anies dengan merugikan Jakarta dan sekitarnya itu benar-benar buah rohani mendalam? Â Ini implikasinya sangat besar.