Artikel 2.500
Sama sekali tidak menyangka bisa mencapai angka 2.500, dua ribu lima ratus artikel dalam waktu enam tahun kurang empat bulan. Idenya dulu sih setahun bisa 500 artikel. Dan itu hanya berjalan sampai tahun ketiga.
Tahun ke empat, dan ke lima, apalagi memasuki tahun ke enam mulai berat. Berat dalam arti makin tidak akan laku dalam keterbacaan. Iklas sih gak dibaca, tapi buat apa jika menulis tanpa dibaca. Kan percuma.
Belajar banyak banget dari Kompasiana. Masih ingat artikel pertama, paling dua digit dan kini ketika sudah angka di atas 2000 juga kembali ke titik yang sama. Artikel pertama yang mencapai tiga digit itu kisaran seminggu, ketika angka 900-an dengan komentar yang sangat mengerikan, pengalaman perdana namanya saja.
Polos atau naif, ketika mengomentari sebuah berita mengenai toleransi itu haram. Â Profesor lho yang membantah, dan tidak tahu cara bersikap di dalam interaksi itu. Ini juga artikel pertama yang mendapatkan tanggapan dari Kompasianer lain, apakah masih aktif tidak tahu persis.
Trending Article, dulu lapak ini yang sering membuat penulis mendapatkan "panggung", keterbacaan relatif lebih cepat dan besar. Karena ada dalam layar utama. Full keputusan Admin, tanpa bisa direkayasa dengan  mempermainkan komentar atau vote sebagaimana NT.
Setiap tulisan masuk  pada jajaran NT itu dulu, awal-awal sangat mudah, karena mengandalkan relasional, jalan-jalan mengunjungi lapak rekan. Vote akan didapat. Pun ketika NT dengan banyaknya komentar, biasa ngerjain  akun yang memang suka ribut. Nah karena mau ribut bisa dipakai untuk banyak komentar. Lumayan banyak akun-akun suka ramai kala 2014-2017-an. Kini hampir tidak ada.
Belajar banyak banget dari K. Bagaimana mengelola perbedaan pendapat. Lha apalagi kalau seorang profesor, rektor lagi, tetapi perilakunya tidak jauh berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan dalam konteks tertentu.
Atau bersikap menghadapi orang yang tidak bisa melihat perbedaan pendapat. Semua andalannya adalah pokoke. Menjawab orang demikian dulu sangat tidak mudah, bahkan tidak bisa.
Belajar untuk bisa berelasi dengan adil, imbang, dan tidak terbatas. Dalam momen pemilu biasanya ada kubu-kubuan. Dan perbedaan itu bukan untuk menjadikan permusuhan. Bisa kog membaca argumen pendukung lainnya untuk bahan tulisan. Mengapa tidak? Memang kadang tidak mudah, karena terpengaruh emosional.
Belajar  konsisten. Bagaimana konsistensi diri itu perlu niat yang cukup kuat. Lha bagaimana tidak, ketika sepi apalagi dihujat, tetap saja menulis. Mengapa? Menulis itu bukan karena apreasi pihak luar yang utama, namun bagaimana menuangkan gagasan untuk bisa diterima  pembaca. Ya wajar ketika ada yang mengolok atau menghujat, padahal kualitasnya juga tidak lebih baik. Sangat wajar, namanya manusia.