Jadi ingat artikel tiga tahun lalu dari Suhu Prof. Felix Tani, dengan judul "Mendikbud Mbok Tolong Berpikir Ilmiah Sedikit". Itu tiga tahun lalu soal full day schooll, tadi pagi ponakan mengirimkan link pembicaraan di media sosial.
Siang pembicaraan yang sama diungkapkan grup percakapan para Kompasianer. Jadi tertarik kemudian membaca dengan seksama apa yang dinyatakan dan dikatakan Mendikbud ini. Cukup menarik. Ketika Pak Menteri mengatakan nikmatilah gaji kecil, terutama guru honorer karena nanti agaknya akan masuk surga.
Ada kontradiksi dalam artikel berita itu di awal berita yang dinyatakan sebagai sambutan dalam perayaan Hari Guru Internasional. Mendikbud mengatakan guru itu profesional berdampak sosial, menuju guru profesional itu perlu pendidikan, pelatihan, dan pengalaman panjang. Ini jelas benar, normatif, dan apa adanya.
Jder basuki mawa bea, semua membutuhka beaya, hal yang sangat lumrah, tidak ada hal gratis dalam upaya di dalam kehidupan ini. Panjang rentang waktu itu juga perlu makan, akododasi, dan banyak lagi.
Sejatinya jika yang mengatakan itu kepala sekolah di sekolah yang hidup segan matipun tak mau, dari 14 kelas  paralel pagi sore menjadi siswa hanya 14, itu baik, benar, dan tepat. Ketika yang menyatakan itu adalah Mendikbud, oran tertinggi pengampu kebijakan pendidikan di Indonesia, ya tidak ilmiah, kalau kata Prof. Felix.
Profesi profesional itu layak mendapatkan upah, karena ia bekerja. Siapa yang harus memberikan upah atau gaji , negara atau pemerintah, yayasan, atau pihak lainnya. Dan salah satu penentu itu adalah Mendikbud. Dua kondisi yang dinyatakan sendiri oleh Mendikbud, profesional, kog gaji kecil, paradog.
Mengapa ada guru  mendapatkan gaji kecil, ini bukan masalah ketidakmampuan negara atau yayasan, namun jauh lebih mendasar adalah bobroknya sistem pendidikan yang ada.
Pertama, membeludaknnya jurusan kependidikan, setiap perguruan tinggi berlomba-lomba membuka fakultas dan jurusan keguruan. Padahal rentang waktu pergantian guru itu panjang bisa hingga 30 tahun. Ketika semua lulus, mau ke mana? Suka atau tidak, akhirnya menjadi honorer dan terpaksa ada yang bergaji kecilpun diambil.
Kedua, banyak yayasan mati suri, seperti yang saya sebutkan di atas, kelas paralel dulu 14 satu tingkat, kini hanya 14 siswa per tingkat. Salah manajemen dan sistem buruk pendidikan. Ini tanggung jawab kementrian dan jajaran. Jangan malah mengatakan naik surga dengan gaji kecil.
Ketiga, yayasan tua banyak mati, namun banyak juga sekolah dan yayasan baru berdiri. Ironisnya jauh dari watak pendidikan. Lapangan tidak ada, gedung megah, mewah, dan kadang cenderung tertutup, bukan seperti sekolah. Ada pula yang menggunakan ruko malah. Mana area bermain jika demikian, itu lebih cocok untuk bombel bukan sekolah.
Keempat, masuknya politis agamis, sehingga membuat banyak sekolah dan yayasan terpaksa tutup karena tertekan dengan nasihat pemuka agama yang sering tidak pada tepatnya. Ini masalah serius. Seolah menutup mata akan model ini nampaknya Mendikbud.