Kemarin, rekan yang bekerja di PT Djarum menyatakan ngalah dhuwur wekasan, palahane ra kangelan nyiapke audisi-audisian. Jelas bagi PT Djarum itu adalah keuntungan, tidak perlu repot, keluar uang pula.
Rekan lain rumahnya Purwokerto mau jauh-jauh mengantar anaknya ke Kudus demi tembus beasiswa dari pabik rokok yang didengung-dengungkan berbahaya, pada sisi lain juga tidak kurang-kurang peminatnya, serta toh banyak penikmat secara tidak langsung.
Kecenderungan, maaf munafik masih demikian kuat. Menguntungkan dukung, tidak dapat apa-apa tendang. Semua hal demikian, lihat saja berbagai-bagai peristiwa mempertontonkan hal demikian. miris sebenarnya, mengaku bangsa berideologi Pancasila, mengamuk kalau agamanya tersentuh, dan wajib mengisi kolom agama, namun munafik menjadi gaya hidup yang seolah membanggakan.
Beberapa hal patut dilihat:
KPAI sebagai punggawa penjaga anak, dalam satu sisi telah tepat dan benar mengatakan perlindungan pada anak-anak. Sepakat, tidak ada yang salah, bahkan harus demikian, memang itu adalah tugas dan kewajibannya.
Namun, apakah itu juga berlaku pada kasus-kasus lain?  Ini menjadi penting karena jika benar melakukan hal yang sama, artinya memang mereka benar bekerja profesional dan itu patut diacungi jempol lima sekaligus. Pinjam tetangga juga boleh. Faktanya, tidak demikian. Mengapa ssb  yang setiap kampung ada, dan itu juga anak-anak lho, jangan dikira kakak-kakek. Mosok kakek main bola.
Pun dalam gelaran kampanye kemarin, anak-anak terlibat, mereka ke mana? Atau anak-anak jalanan itu tidak kurang-kurang yang perlu mereka perhatikan kog. Bukan bermaksud mendeskreditkan KPAI dengan tugas mulianya, namun mengapa abai pada yang esensial malah meributkan yang remeh.
Jika berbicara eksploitasi anak, mengapa diam saja pemain sinetron anak, yakin itu paksaan dari emaknya, atau audisi idol junior, atau dai cilik dan hafidz cilik, gak sah sewot dan nuduh soal pelecehan agama, apa bedanya dengan yang ada di Djarum?
Soal rokok. Benarkah bahwa rokok itu penyebab adanya polemik ini, jika ini rokok kan bukan ranah KPAI, namun dinas kesehatan dan benar KPAI memiliki kewenangan itu. Namun lagi-lagi ke mana KPAI ketika ada anak yang dibawa bahkan disewakan untuk mengemis, atau menyewakan ojek payung? Benar itu terlalu kecil bagi mereka.
Menarik adalah ketika ingatan publik kembali ke masa silam. Di mana banyak cabor yang bisa banyak berbicara kemudian hilang karena induk yang banyak memberi gizi itu mundur. Ada dulu PORKAS dan SDSB, benar bahwa itu judi. Toh tidak siap dan ada solusi untuk pembinaan berkelanjutan. Ini soal sikap, gampang kog menghentikan dan membubarkan, namun apa ada jalan keluar yang lebih baik?
Ping pong dan tenis lapangan dulu sempat moncer karena ada penanggung jawab untuk itu semua dengan kelimpahan uang dan fasilitas. Jangan naif mengatakan nasionalisme semata. Itu omong kosong. Jelas juga bukan matre, namun konsekuensi logis, mau maju ya perlu banyak bea, tidak ada yang gratis. Siapa yang mau menggantikan peran Djarum sekarang?