Dewan sebagai pengawas atas kinerja pemerintah selama ini memang masih payah. Lihat bagaimana komentar mereka, atau seringnya OTT oleh KPK, belum lagi jika berbicara mengenai capaian UU dan RUU yang mereka hasilnya.
Lebih minim lagi, hampir semua produk UU atas inisiatif pemerintah, dan mereka hanya membahas dan kemudian stempel.
Daftar kepayahan mereka lebih lagi jika berbicara mengenai absensi dan daftar kehadiran. Entah sampai kapan hal ini bisa lebih baik. Padahal gaji dan tunjangan sudah melimpah. Datang pun masih asyik tidur, nonton video, atau aktivitas lainnya yang sama sekali jauh dari kepantasan seorang dewan yang terhormat.
Pengawasan atau mengawal sejatinya tidak menjadi penting, ketika para pelaku yang ada di dewan sana itu memiliki beberapa hal sebagai berikut:
Ketaatan akan azas dan kepantasan.
Hal yang jelas mendasar ini, rambu-rambunya jelas kog UU, sumpah-janji jabatan. Namun yang terjadi kan selama ini mengalahkan bang bajaj dan mak bermetik. Manuver demi manuver demi amannya perilaku jahat mereka sendiri.
Lihat saja bagaimana perilaku ugal-ugalan mereka kalau tidak suka. Mau oposisi atau pendukung pemerintah pun sama saja.
Jelas parameternya, jelas tugasnya, hanya karena tidak taat azas, konsensus, dan hanya berdasar suka dan tidak, kinerja mereka menjadi rendah dan tidak aa hasil yang cukup baik selama ini. Miris apalagi untuk periode ini.
Kinerja Suka dan Tidak Suka Semata
Lihat saja bagaimana mereka selama ini di dalam kinerja menjadi tidak berdaya guna karena lebih memberikan gambaran suka dan tidak suka semata. Padahal bekerja demi bangsa dan negara itu tidak demikian itu.
Lihat saja awal periode lampau ketika mereka ribet dan ribut berebutan kursi pimpinan dan menyandera hidup bersama.
Kini pun tidak lebih baik, meskipun tidak seramai dulu, namun tetap saja susah berharap lebih banyak dan kecenderungan hasil dan prestasinya akan mirip, jika tidak bebenah dan memberikan perubahan.
Orientasi Kepentingan Sendiri, Kelompok, dan Bukan Hidup Bernegara
Paling jelas ketika gontok-gontokan, sering sektarian, memikirkan kelompok, partai, dapil, dan sejenisnya. Terbaru soal KUHP yang membahas hukuman bagi koruptor, mereka malah membuat itu menjadi lebih ringan.Â
Mengapa teriakan rakyat untuk hukuman mati dan pemiskinan seolah tidak didengar? Karena mereka enggan kalau tali gantungan itu menjerat leher mereka sendiri.
Apa yang ditampilkan selama ini pun identik dengan produk itu. UU dan hasilnya sering dimentahkan dan dipatahkan MK karena juga adanya kepentingan yang lebih kuat. Miris jika berkaitan dengan pihak asing. Pasal titipan baik sadar atau bawah sadar kan mengerikan.
Kesadaran sebagai Pejabat Publik
Mereka sadar tetapi dalam konteks sebagai pejabat  yang menghendaki penghormatan, fasilitas, dan susah mengajak jabatan sebagai pengabdian. Memang tidak semua, ada juga yang baik. Nah optimisme si pejabat baik ini menjadi kekuatan di dalam pengharapan bukan malah pesimis dengan melihat yang buruk saja.
Kondisi sudah membaik, banyak yang kinerjanya bisa dirasakan, jadi kekuatan untuk tetap berharap lebih baik dari hari ke hari. Kemampuan juga baik dan berpendidikan.
Upaya apa untuk memperbaiki kondisi yang ada di atas?
Pendidikan politik dan pengabdian
Tugas partai politik sehingga para anggota dewan bekerja dengan sebaik-baiknya. Memang tidak ada di dunia ini lepas kepentingan, namun toh meminimalisir itu bisa. Upaya yang baik dan kehendak yang besar dari partai politik sangat memungkinkan.
Pengabdian jelas berkaitan dengan platform dan ideologi partai. Selama ini masih demikian lemah. penguatan ideologi tentu akan sangat membantu dan menjadikan kader itu benar-benar berkualitas. Ideologi jelas Pancasila dan agama yang ada di Indonesia, bukan semata label dan keindahan wacana semata.
Budaya malu dan penegakan hukum
Selama ini sangat lemah, bagaimana mereka tidak malu-malu menghianati sumpaah-janji jabatan, menghianati Pancasila dan agama. Merasa malu dan bersalah itu menjadi penting. Lagi-lagi ini adalah tugas partai.
Memecat dengan mudah, namun diterima di partai lain, menjadi elit lagi. Tidak punya malu dan malah seolah bangga, maling pindah yo tetap maling. Khianat yo akan mengulangi lagi dengan perilaku yang sama.
Penegakan hukum belum menjadi efek jera karena pola politik kutu loncat dan tidak tahu malu ini. penting digaungkan bahwa penjaga harus lebih bersih dari yang dijaga. Selama ini ke mana itu semua? Nyatanya sapu kotor belepotan pun menang lagi menang lagi.
Parpol lebih selektif dan tegas terhadap kader sehingga kinerjanya terukur.
Selama ini parpol kadang kalah oleh kader karena kemampuan finansial, ketenaran, dan tekanan-tekanan lain. Ini juga masalah, karena mereka tidak ada lagi yang ditakuti. Bayangkan mereka bisa menjadi segala-galanya. Partai tidak lagi berdaya, untuk apa mereka takut karena partai mereka yang hidupi. Ini masalah serius.
Mau apapun rakyat berteriak, jika mereka tidak taat azas, mereka tidak sadar atas perilaku menyimpangnya, percuma. Revolusi mental mendesak, dan mereka ini yang pertama dan utama direvolusi dulu, lha malah mereka mengolok karena mereka tidak sadar bahwa mereka ada yang tidak benar.
Nurani harus dipertegas, bukan hanya narasi indah di mulut namun perilaku. Pengawasan hati, mau seperti apa, jika dasar karakter mereka buruk, sejuta polisi dan UU tidak akan cukup. Upaya dengan menyorot mereka menjadi penting, paling tidak, nggriseni nurani mereka agar bebenah.
Terima kasih dan salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H