Beberapa bulan lalu, ada tukang yang biasa membersihkan pekarangan. Sudah sangat hafal dengan apa yang harus dan tidak dilakukan.
Konon katanya, kalau naik ke atap dan membersihkan genteng selalu menyium bau harum. (pengharum ruangan atau parfum sih mungkin, toh pak tukang beda persepsi, ya mangga)
Suatu hari, pak tukang membersihkan tempat yang sangat biasa, berkali-kali juga ia bersihkan. Nah hari itu, ia bersikukuh untuk memindahkan batu yang cukup besar. Saya katakan, tidak usah, ngapain merepotkan diri.
Biar bagus dan lebih baik dilihat katanya ngotot. Batu itu sangat berat, jauh lebih berat dari besaran visualnya. Posisi turun permukaannya, tapi luar biasa berat. Untuk mengungkit saya menggunakan linggis besi. Akhirnya sampai tempat yang pak tukang inginkan, ditata jadi undak-undakan agar baik dan  mudah kalau naik turun.
Batu itu ada di antara rimbunnya pohon bambu kuning. Pekerjaan tidak selesai satu hari. Biasa tukang datang pukul 8.00. Karena hari Kamis, kami ke makam, biasa pukul 7,30-an toh sudah sampai rumah lagi. Ternyata si tukang sudah datang.
Mas, ayo omahe Mbahe baleke, katanya panik dan serius, Mas ayo kembalikan rumahe simbahe.
Lho omahe Mbahe, konteks ibu saya, dalam benak saya, kan gak diapak-apake? Â Lha rumah mbahe kenapa?
Hus, yang kemarin, sambil melirik si batu.
Abot ya, berat.
Pokoke kudu baleke, pokoknya harus kembali.
Dan ternyata sangat ringan, padahal posisi naik. Kemudian ia berisitirahat untuk ngeteh dulu, baru ia bisa bercerita, kalau dini hari tadi, ia diprimpeni, simbahe, semalaman panas tidak bisa tidur, simbah marah dan minta kembalikan rumahnya.