Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Panenan Prabowo dan Gerindra Kampanye ala Manusia Gua Plato

15 Juli 2019   09:00 Diperbarui: 15 Juli 2019   09:10 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Panenan Prabowo dan Gerindra Kampanye ala Manusia Gua Plato

Manusia gua Plato itu ringkasnya adalah, sekumpulan orang yang selama hidup ada di dalam gua dan hanya menghadap ke depan. Di belakang mereka ada lampu yang membuat  mereka masih bisa melihat bayangan.

Suara dan bayangan semata yang mereka saksikan seumur hidup dan mereka meyakini itu sebagai apa yang memang demikian terjadi. Suatu hari ada satu orang yang dibebaskan. Awalnya ia silau karena matanya tidak siap dengan cayaha yang ada. Lambat laun ia bisa beradaptasi dengan matahari  (kebenaran)  dan bisa melihat keseluruhan berbeda dengan apa yang ia lihat dan yakini dalam gua.

Ia bersegera lari ke dalam gua dan hendak membebaskan rekan-rekannya. Namun apa yang terjadi? Jelas saja dianggap mengada-ada dan menerima perlawanan dan jelas penolakan.

Nah dalam konteks Prabowo bertemu dalam stasiun MRT ini, ada beberapa hal yang identik dengan manusia gua Plato. Beberapa hal yang perlu dilihat lagi:

Selama kampanye selalu mendengung-dengungkan kecurangan. Kekalahan hanya karena kecurangan. Nah ketika  Prabowo menyatakan  kemenangan Jokowi, para pendukungnya merasa dikhianati dan pemimpinnya mendukung kecurangan. Mereka masih melihat politik sebagaimana pola pikir mereka yang pendek, sempit, dan terkadang maaf naif. Hal yang digeolarakan dalam kegiatan keagamaan, tokoh yang diyakini benar, dan dipatahkan oleh pelaku politik.

Jangan dianggap ini tidak banyak. Pengikut paham curang-cureng ini sangat banyak, dan maaf mereka cenderung kurang pengalaman. Jangan bebankan pada Jokowi semata untuk menyadarkan pengikut model demikian. Hal yang tidak mudah karena diindoktrinasikan sekian lama.

Pelarangan menyaksikan televisi, membaca media arus utama, dengan dalih mereka, media itu berlaku tidak adil, sudah dibeli rival, dan sejenisnya. Kebiasaan yang terbawa ini, sehingga mereka hanya percaya informasi dari grup tertutup. Tidak heran  photo-photo terbaru pun mereka tidak percaya, mereka yakini itu photo tahun 2014.

Lima  tahun itu sangat berbeda, MRT belum jalan, Prabowo masih lebih gagah dan wajah belum sekuyu sekarang. Perbedaan yang jelas mereka tidak mau akui karena mereka sudah termakan kebiasaan melihat searah dan bayangan saja dalam seluruh hidup dan pemikiran mereka.

Hutang negara dan krisis pemerintah. Hal yang diulang-ulang dan banyak yang percaya, padahal hal sebaliknya yang ada. Mana ada datang ke G-20 jika negara bangkrut, krisis dalam hutang, dan gagal bayar. Kondisi sebaliknya yang diulang-ulang itu pun masih seoolah kebenaran dalam benak para pendukung Prabowo.

Termasuk dalam poin ini banyak sekali, soal kepemilikan juga termasuk, namun tidak seheboh mengenai hutang negara, yang masih saja menjadi narasi dan keyakinan banyak pihak pemuja kaum pemilih Prabowo. Saatnya mereka memanen itu dan bagaimana pernyataan kalau kondisi hutang negara tidak demikian adanya.

Jai diri presiden, Jokowi PKI, kresten, dan sejenisnya, itu pun masih banyak yang percaya. Negara mau dipenuhi dengan TKA terutama China, negara dikuasai asing dan aseng, faktanya mana?  Tidak ada, toh masih saja diyakini.

Narasi kecurangan, hutang negara, photo tahun 2014, masih pula ada yang membuat narasi bahwa pertemuan itu jebakan, di mana Prabowo dijebak kubu Jokowi padahal sejatinya mau bertemu dengan Anies. Jelas-jelas Anies ada di luar negeri, ini semua hanya karena demi membenarkan benak, pemikiran, dan bayangan mereka sendiri yang diyakini dengan bak babi buta.

Pengulangan menjadi sebuah kata kunci yang penting, bagaimana mereka mengungkapkan itu terus menerus, semua pihak menggunakan wacana yang sama. Jangan bicara itu kinerja Prabowo atau Gerindra saja, toh Demokrat dengan  Andi Areifnya juga menggunakan pola yang sama.

Soal kecurangan ini sudah banyak membawa korban  lho, baik yang sudah masuk bui ataupun pihak-pihak yang turut mengemparkan dengan ide usai kampanye, bahkan setelah pemilihan. Robot situng termasuk di sana, pun kesaksian di MK rata-rata juga soal kecurangan ini

Hal yang cukup serius bukan, dan hanya dengan sederhana Prabowo memilih penyelesaian sederhana, menemui Jokowi dan selesai begitu saja?

Apa yang perlu dilakukan jika demikian?

Para pelaku, terutama Prabowo dan kawan-kawan tidak boleh lepas tangan begitu saja. Merasa seolah-olah Jokowi dan tim menjebak Prabowo itu sebagai jawaban untuk mengamankan diri atas tudingan dan kemarahan pendukung mereka.  Model sikap mencari aman ini sudah dilakukan kemarin dalam media sosial mereka.

Jangan menambah lagi jawaban, mencari pembenar atas ulah mereka baik dalam kampanye, apalagi dalam MRT kemarin. Mereka memilih dengan baik, menyudahi polemik pilpres, namun jangan lupakan didikan gua mereka selama ini toh diyakini pemilihnya dengan sepenuh keyakinan. Ini serius dan perlu dikembalikan dan diajarkan pula dengan masif.

Risiko mereka, dan mereka juga perlu melakukan upaya dengan semaksimal mungkin dan bukan merasa tidak ada apa-apa. Mereka sudah memulai, jangan melupakan kinerja mereka sendiri. Ketika mereka menciptakan manusia-manusia gua, jangan abaikan kalau tidak mudah mengembalikan bayangan yang sudah diyakini itu.

Pekerjaan berat namun sangat yakin bisa dibenahi jika mau bekerja keras dan menyadari bahwa kemarin sudah lalai. Terutama, ketika politik identitas yang demikian lekat kemarin itu dikurangi dan dibuang. Matahari, kebenaran yang lebih universal toh ada. Pilihan Prabowo sudah tepat, hanya menyelesaikan akibat atau dampak atas pilihan gaya berkampanye mereka kini harus lebih serius.

Sangat berbeda dengan 2014 lalu, apalagi seolah perselisihan ini tercipta selama lima tahun terakhir. Caci maki, tudingan tidak mendasar itu demikian masif. Nah apa iya semudah menghapus tinta di atas papan tulis?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun