Bambang Widjojanto di Antara Komunikasi dan Konsolidasi, serta Opini dan Wacana
Cukup menarik apa yang disajikan oleh Bambang dan tim, seolah melengkapi keadaan kedodorannya Prabowo dan kawan-kawan dalam kontestasi puncak bangsa ini. Sejak kampanye tidak ada hal esensial, baru, dan menjanjikan disajikan.
Masa yang seharusnya menjadi ajang untuk meyakinkan pemilih, minimal mempertahankan perolehan periode lalu, dan mencoba meraih simpati lebih banyak, malah diisi dengan drama dan sandiwara yang mudah sekali terkuak.Â
Parahnya lagi  cenderung  mempromosikan rival dengan fokus mereka yang sering hendak menegasikan capaian, namun malah menjadikan publik enggan lagi percaya karena saking payahnya data dan argumen mereka.
Soal hutang yang dengan mudah dimentahkan dan dipatahkan bahkan data lengkap termasuk pengakuan internasional. Eh begitu masih saja diulang-ulang dengan berbagai narasi. Mahalnya harga-harga yang malah menjadi parodi dan meme, tak putus-putus.
Infrastruktur yang jelas-jelas bermanfaat, mereka pun memanfaatkan, malah dicela. Ini jelas blunder yang membuat orang kapok, dan pemilih enggan lagi memilih, ingat suara pemilih Prabowo turun  lho. Yang mereka serang malah kekuatan utama.
Padahal jauh lebih banyak sisi lain, mengenai terorisme yang tidak banyak penanganan serius, soal korupsi, soal pendidikan yang jalan di tempat, mengenai riset yang belum banyak membantu, termasuk soal pangan dan pertanian. Namun mereka memanfaatkan dengan lemahnya riset dan data, sehingga malah menjadi bulan-bulanan.
Ingat soal bawang merah di Brebes, ini jelas karena mereka enggan melakukan kerja keras mengolah isu itu. Jadinya malah serangan untuk mereka sendiri. Atau karena mereka terlibat di dalam sana selama ini.Â
Mafia berkaitan dengan sembako  belum tersentuh dengan baik. Pun pendidikan yang kacau balau, mereka sama sekali tidak membahasnya. Atau karena tidak tahu.
Kali ini, upaya terkahir, malah melahirkan dagelan dan sandiwara baru. Sejak sebelum persidangan, Bambang sebagai pemimpin terdepan menelorkan istilah majelis kalkulator, menjadi bumerang baru, bukan simpati publik dan para majelis yang mulia tentunya. Maunya memberikan tekanan bahwa MK harus terhormat, namun salah dan menjadikan antipati bertambah.
Pengantar yang riuh rendah dengan kutipan keagamaan makin mengukuhkaan dugaan siapa yang bermain di sana. Publik makin enggan memberikan simpati. Berbeda jika itu delapan atau sembilan tahun lalu. Kini posisi politik identitas agama itu makin pudar dan berganti. Namun masih dipaksakan lagi untuk dipakai.