Jack Reacher, Tim Mawar, dan Tentara Nakal
Sebenarnya pekerjaan kotor, nakal, dan seolah lepas, dari kesatuan atau organisasi utuh sangat biasa dalam hidup bernegara, atau organisasi. Ada pula dalam konteks sempit kita dalam kepanitiaan, ada seksi sibuk yang sangat ribet dengan banyak hal, padahal dalam struktur resmi malah tidak ada.
Jack Reacher 2 yang berjudul, Jack ReacherGo Back secara garis besar berkisah mengenai si Tokoh Utama, adalah  mayor jagoan, hero, lurus, namun abai kondisi sosial. Tugas akan beres, namun jangan harap sesuai aturan secara ketat. Hitam dan putihnya bukan hukum yang menjadi panglima.
Nah ketika perdagangan senjata gelap, tokoh ideal yang lurus, bersih, taat aturan, dan tidak akan pernah melanggar hukum ini menjadi santapan empuk untuk menjadi anak domba persembahan bagi lajunya para pelaku kejahatan yang menguasai semua lini.
Posisi lain adalah si pelaku kejahatan yang bisa merekayasa banyak upaya untuk menyelamatkan diri, kelompok, dan jelas kepentingannya. Ekonomi paling mudah menggoda orang untuk berbuat khianat.
Memang secara umum jelas klasik banget, di mana jagoannya akan menang melawan si jahat dengan berbagai upaya kadang mustahil, namanya juga film. Dramatisasi yang hebat meskipun mustahil penonton senang dan itulah yang dijual. Tokoh baik kembali pada posisi semula, dan si jahat mati atau masuk bui.
Saat ramai-ramainya pembicaraan tim mawar, Â di mana ada nama Prabowo dan kisah panjangnya, pas banget nonton lagi film ini. Jadi ingat sangat mungkin bahwa garis komando itu pun dihuni dan dikuasi banyak faksi. Ini faktual, dan hanya utopia yang berbicara tidak mungkin itu.
Kepentingan yang sangat mungkin, jika dalam film itu adalah soal uang atau ekonomi semata. Namun jika dalam politik bangsa ini ada beberapa kepentingan yang berbicara. Namun sering karena bersikukuh dengan adat ketimuran, sering abai melihat kenyataan, lebih sering menyangkal yang tidak menyelesaikan masalah.
Pertama, budaya korup yang sudah dianggap wajar. Ketika para jenderal memiliki kekayaan yang luar biasa. Ingat masa lalu ada istilah jenderal gendut pun belum pernah diusut dengan tuntas. Apalagi produk Orde Baru khususnya AD. Masih lagi dengan dwi fungsi kacaunya di masa lalu, membuat mereka menjadi raja di raja.
Kekuasaan yang bermuara pada kekayaan jelas menjadi fokus produk masa itu. Dan ketika  keadaan makin terasa akan tertib, membaik, dan memang jelas arahnya, jelas saja banyak yang tidak setuju dan tidak rela. Sangat mungkin melakukan perlawanan.
Kedua, sejarah panjang DI-TII masih ada, dan itu sering direpresi dengan kata tidak mungkin, tidak ada lagi, satu komando, dan sejenisnya. Ini harus diakui dan dijadikan perhatian bersama. Apalagi era kini lebih modern pendekatan, masukan, dan pola rekrutmen menjadi anggota baik militer ataupun kelompok fundamentalisnya. Jelas DI memang telah berakhir, namun apakah pemikiran dan ideologi sejenis sudah tamat? Belum tentu.