Demokrat membuat lagi manufer cukup cerdik, meskipun semua juga sudah paham. Beberapa kali menyatakan hal yang seolah-olah, sepintas, dan sekilah bagus, keren, dan demokratis, namun sejatinya seperti polisi dalam film India. Datang telat atau urusan sudah selesai. Mirip juga orang sudah mules baru berpikir membuat kakus.
Kemarin, pada hari-hari menjelang berakhirnya masa kampanye, koalisi mereka mengadakan ibadah pagi bersama, namun sejatinya kampanye. Seolah-olah benar, baik, demokratis, dan paling nasionalis, mereka mengatakan, itu tidak benar. Â Malam menjelang acara, Demokrat menyatakan bahwa acara itu tidak seharusnya.kampanye itu harus membuka peluang bagi semua pihak, bukan hanya satu agama atau kelompok saja.
Bagus bukan? Namun apa iya, semalam saja mau mengubah acara yang pastinya mereka pahami dan nashat itu jauh-jauh hari sudah diberikan. Aneh dan lucu saja, selain kecurigaan orang, bahwa mereka hanya berpikir soal pileg dan upaya mereka mendapatkan suara pemilih partai bukan pilpres. Sah-sah saja pendapat dan opini demikian.
Kini, usai banyak pembicaraan soal AHY yang bertemu Jokowi, tiba-tiba Demokrat menyatakan jangan dengarkan Rizieq, siapa dia? Memang cukup beralasan bahwa apaa yang dinyatakan Rizieq itu tidak berdasar sama sekali. Mengapa? Penghentian hitung cepat, atau sejenisnya jelas bukan ide demokratis, legalis, dan berdasar.
Atas nama kebebasan berpendapat memang sah-sah saja, namun apakah juga boleh, kemudian kebebasan itu menerjang aturan yang bermanfaat bagi hidup bersama. Namun lagi-lagi ini cukup terlambat. Apa yang Demokrat sampaikan itu jauh dari yang seharusnya.
Kebersamaan Prabowo dan Rizieq dan kawan-kawan bukan baru kemarin sore, pun ide, gagasan, dan wacana-wacana yang berkembang pun bukan barang baru. Itu lagi-itu lagi, selama ini ke mana saja. Jauh lebih didengar Rizieq daripada Demokrat juga bukan baru waktu dekat, jauh lebih dulu.
Apa yang Demokrat sampaikan itu baik, benar, dan penting, namun terlambat. Potensi kristalisasi pemikiran dan persepsi publik sudah demikian kental, baru ada upaya pemanasan kembali. Susah untuk kembali mencair, bila bisa pun sudah tidak karuan hasilnya. Apa yang ditampilkan itu tidak banyak berdampak bagi kebersamaan, namun demi  kepentingan sesaat dan kelompoknya sendiri.
Memikirkan kelompoknya karena usai  serangan atas kedatangan AHY, baru sadar bahwa mereka memiliki calon sendiri dan kemudian lahirlah istilah penyelamatan Prabowo, jangan dengar Rizieq, dan lebih baik dengarkan rekan koalisi, halo...selama ini ke mana saja Demokrat?
Melihat apa yang terjadi, kelihatannya Demokrat sudah sangat paham dengan karakter Rizieq Shihab, bagaimana lika-liku permainan politiknya di dalam membantu meraih keinginan. Nampaknya pula isu pilkada DKI menemukan faktualisasinya pelan-pelan. Ada kekecewaaan dan kejengkelan yang sering menjadi desas-desus, dan konfirmasi itu pelan-pelan mulai nampak.
Wacana, gagasan, dan ide untuk menggagalkan pemilu, deligitimasi KPU, netralitas polisi-militer, tudingan pemerintah memainkan server, itu jauh-jauh hari, sebelum masa kampanye bahkan. Demokrat diam saja, mereka tidak mengatakan, hey Prabowo, aja ngunu tah, kui gak bener, iku ngawor kon, itu sama sekali tidak ada, mengapa tiba-tiba demikian bijak dan baik hati menyelamatkan Prabowo.
Sama halnya dengan orang naik perahu bocor, mereka tahu, dan ah nanti juga bisa diatasi kan banyak temannya, bahkan ada anak mereka yang nakal ikut-ikut ngrikisi bolong itu dengan jari, halah hanya kecil kog, akan baik-baik saja. Usai banyak air masuk baru teriak-teriak, eh air jangan masuk ke perahu, kami bisa tenggelam. Padahal masih cukup dalam, meskipun sudah ada di pinggir.