Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bantahan Hasil Survey Dinegasi Perilaku Capres dan Elit 02 Sendiri

14 Maret 2019   10:52 Diperbarui: 14 Maret 2019   11:30 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap hasil survey keluar, bantahan dan tudingan berseliweran dari BPN bahkan hingga capres dan cawapres. Sikap yang kadang berlebihan dan tidak mendasar sama sekali. Sekali dua kali masih lah dianggap reaktif.

Nah ketika itu adalah setiap kali dan ujung-ujungnya semata tidak percaya, apalagi jika sudah dilengkapi dengan tudingan di mana lembaga survey tidak independen, survey pesanan, atau pelaku survey sebagai pendukung paslon tertentu. Berkisar di sekitar itu saja, dari hari ke hari.

Parah lagi, kecenderungan untuk tidak percaya lembaga survey yang merilis hasil tidak sesuai dengan keinginan atau hitungan mereka. Berbeda ketika lembaga yang justru tidak dikenal memberikan hasil sesuai dengan harapan mereka, tanpa ba bu bi langsung dijadikan rujukan.

Miris lagi, mereka mengagung-agungkan hasl survey dari intern mereka. Entah apakah valid, apakah juga mekanisme dan teknis penelitiannya bisa dipertanggungjawabkan, toh mereka gegap gempita menjadikan itu sebagai data yang lebih handal.

Lebih memprihatinkan lagi, ketika polling via media sosial lagi. Kelemahan polling media sosial adalah, kecenderungan orang adalah sekelompok saja yang berteman, berinteraksi, dan bergaul dalam runag lingkup itu. nah hasil dari polling, juga akan cenderung memberikan penilaian mayoritas, karena memang populasinya identik atau hampir seragam.

Kecenderungan main-main dan tidak serius jelas lebih kuat. Mengapa demikian?  Namanya media sosial lebih berbicara hal-hal yang ringan, menghibur, dan bersenang-senang. Hal yang serius itu akan cenderung dibawa pada kondisi cair dan mengalir saja.

Kondisi demikian, apa iya bisa diyakini kesahihannya sebagai metode dan hasil penelitian yang valid dan bisa dipercaya tingakt asurasinya. Ingat ini  bukan soal hasilnya bohong atau benar, namun adanya potensi bercanda dan populasi yang lebih seragam.

Rujukan dari metode ini tentu sangat jauh dari kapasitas bisa dipercaya, namun tetap banyak yang bersuka ria karena memiliki kecenderungan lebih suka dininabobokan, meskipun itu tidak mendasar sama sekali. Apalagi jika diviralkan lagi-lagi juga dalam media sosial dan grup percakapan.

Saling meneguhkan di dalam kondisi yang homogen, tanpa ada sikap yang berbeda dan memilih kritis. Ada masukan akan mengatakan itu penyusup, menuding bahwa itu pengacau. Sikap militansi buta, tanpa ada sikap yang mempertanyakan kebenaran dan kenyataan secara bijaksana.

Keyakinan pada polling, dan survey intern, serta juga saling berbagi dalam grup sendiri dalam arti tertentu boleh-boleh saja. Masalah adalah ketika tidak mau tahu kebenaran dan fakta yang ada. Cenderung bias fakta karena memang tidak mau  dan tidak siap mengadapi kenyataan dan kekalahan. Ini masalahnya.

Pengulangan dengan bias fakta demikian, tentu sangat berpengaruh pada kondisi psikologis pendukung yang dominan kecurigaan, tidak mau percaya pada pihak lain, kenyataan yang dikamuflasekan, dan ujung-ujungnya menyalahkan pihak lain sebagai pelaku kecurangan.

Sah dan boleh-boleh saja tidak percaya dengan hasil survey, namun apakah dengan dasar atau hanya bicara sekehendaknya sendiri. Di sinilah peran kecerdasan itu. Jauh lebih memrihatinkan adalah justru perilaku baik kata dan pernyataan apalagi perbuatan setiap aksi kampanye dan isu yang beredar.

Beberapa hal yang cukup mengusik klaim kemenangan apalagi sangat telak dari perilaku dan ugal-ugalan koalisi mereka di dalam masa jauh sebelum apalagi masa kampanye ini. hal yang patut dilihat;

Pertama aroganssi capres, berkali ulang marah, kasar, dan merendahkan pihak lain, terakhir jelas ngeplak tangan pengawal yang ia nilai terlalu kasar pada pendukungnya. Soal benar salah bukan ulasan, namun kekerasan baik dengan kata-kata, apalagi tangan, bukan gambaran pemimpin yang baik.

Karakter, bukan hanya insidental atau sudah keterlaluan, memang mudah marah, terpancing emosinya, dan berlebihan dalam bersikap. Nyatanya anak buahnya juga berlaku demikian, cenderung dalam ujaran yang penuh kebencian dan caci maki, ini juga arogan dan kekerasan lho. Salah satu mental pemenang itu bukan penyuka kekerasan.

Kedua, mudahnya menuding pihak lain dengan data yang sangat minim, tidak jarang malah data itu dibuat-buat atau malah fitnah sekalipun. Ini pun berkali ulang. Dari kekerasan narasi Ratna Sarumpaet, dan sudah terbukti bahwa itu oplaspun masih saja ada upaya untuk menjelekan rival. Atinya mereka tidak belajar berubah dan bebenah.

Soal tujuh kontainer kotak suara tercoblos, itu pun sudah dengan mudah dipatahkan dengan argumen waras, dan fakta yang tak terbantahkan. Tidak ada pernyataan sesal dan maaf, malah mengulang hanya karena truknya ada huruf kanji, yang dituding huruf Mandarin. Lagi-lagi kegoblogan dipeliharan, masih tinggi hati lagi. Mosok model begini mental pemenang?

Ketiga, salawi, narasi baru tidak ada, yang ada hanya salawi, salahnya Jokowi. Bagaimana semua upaya adalah ujungnya mengganti Jokowi. Mulai 2019 ganti presiden hingga kebebasan terdakwa pembunuhan dari Malaysia hanya intinya mau Jokowi lengser. Mana ada mental pemenang kog abai akan demokrasi?

Berjibun isu dan desas-desus juga ujungnya Jokowi salahnya, kadang naif, sama sekali tidak berkaitan dengan Jokowi sekalipun tetap saja dikaitkan-kaitkan. Jelas ini kebodohan, tidak ada pemenang kog bodoh.

Keempat, tidak ada kreatifitas sama sekali. Isu Jokowi PKI, ibunya bukan orang baik-baik, antekasing dan aseng, dan semua itu ilusi 2014 hingga kini. Prapilkada Solo dan prapilkada DKI sama sekali tidak ada narasi itu. Pemenang tidak akan berlaku murahan demikian, ingat rekam jejak digital itu mudah dan banyak sekarang.

Sama juga dengan isu bukan Muslim yang baik, antiislam, pelaku kriminalisasi, antiulama, dan  sejenisnya. Narasi negatif yang diulang-ulang, dan itu pun sangat mudah terbantahkan. Toh masih saja dipakai. Hanya yang maaf bloon menggunakan cara yang sama, meskipun sangat tidak lagi meyakinkan.

Kelima, makin ke sini, kampanye makin menampilkan model kampanye hitam, di mana sama sekali tidak ada data di dalamnya. Adzan dilarang, pelajaran agama ditiadakan, dan pelegalan pernikahan sejenis, dan pelegalan perzinahan. Kreatif namun busuk karena sangat tidak berdasar, tidak ada pernyataan yang memberikan satupun indikasi samar dan kecil.

Keenam, para pelaku politik ini sekaligus adalah anggota dewan, namun mereka mendadak amnesia, ketika mereka gembar-gembor utang itu adalah persetujuan dengan dewan, bukan kinerja atau keptusan pemerintah sendirian.

Berteriak kalau pembangunan infrastruktur itu tidak penting, padahal lagi-lagi tugas dewan, dan sebagian besar mereka adalah dewan, nah ke mana suara kritis mereka di lembaga dewan, bukan malah di  media dan media sosial semata. Nah apa iya model pemenang itu perilakunya demikian?

Ketujuh, pilihan cerdas itu hanya milik pemenang, selama ini mereka menyajikan kenaifan dan dibungkus dengan agama dan itupun hanya pemanfaatan bukan esensi agama.  Sikap pemenang itu bukan mengelabui namun mendidik dengan semestinya. Mental pecundang yang mengajarkan kebohongan yang dibungkus dengan dali keindahan.

Mau menolak hasil survey itu boleh, asal memang bukti itu ada. Bagaimana percaya mereka menang jika perilaku mereka saja bukan mental pemenang. Sikap dan perilaku mereka yang ugal-ugalan, arogan, dan suka memfitnah itu bukti hasil survey itu memang bukan kemenangan mereka. Kemenangan itu hanya klaim semata tanpa indikasi, apalagi bukti nyata.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun