Kekuasaan pada para pemasok, di mana mereka tentu saling menguatkan dan membutuhkan. Satu sisi para pemasok mendapatkan kesempatan memasuki jaringan elit yang jauh lebih menguntungkan. Ini soal kekuasaan dan kesempatan. Si AA dan para pemakai lain mendapatkan kesempatan untuk bisa memperoleh "barang" dengan jaminan lancar dan akan selalu memperoleh kala butuh.
Mereka lupa, bahwa kekuasaan tetap saja terbatas dan ada waktunya berakhir. Nah kini yang coba ditawarkan oleh kekuasaan itu adalah dengan cara lain, menekan dengan seringan mungkin konsekuensi atas pelanggaran hukum. Paling mungkin adalah rehap. Maka narasi yang dikembangkan adalah bahwa mereka dijebak, merasa bahwa itu bukan pelanggaran hukum, dan seterusnya.
Kisah kedua yang dilakoni pimpinan dewan yang berkomentar tentang hasil survey LSI, beberapa hal yang patut dilihat,
Pertama menolak hasil survey karena berasal dari lembaga yang dituding adalah timses pihak rival. Menarik karena setiap survey yang menghasilkan rekomendasi pihaknya kalah akan ditolak dan dituding macam-macam.Â
Dan sebaliknya, kalau hasil survey memberikan hasil yang memenangkan pihaknya diakui. Lagi-lagi adalah kekuasaan otak dan opini di dalam membangun persepsi, dengan menafikan banyak faktor yang ada.
Kedua, ketika survey itu ada point berkaitan dengan dasar negara antara Pancasila atau ala Timur Tengah. Lagi-lagi hal ini ditolak karena berpotensi menimbulkan pertentangan dan konflik sara.Â
Setuju, dan memang bisa demikian. Menjadi pertanyaan adalah, selama ini ke mana saja mereka ini? Baru bangun, atau amnesia? Â Perilaku mereka selama ini seperti apa, semua paham kog. Jangan seolah-olah menjadi paling nasionalis dan Pancasilais, ketika kedok dan borok mereka dibongkar oleh survey. Jadi penolakan itu bukan karena jiwanya, namun karena ketahuan belangnya.
Ketiga, bisa berbicara soal persatuan dan kesatuan bangsa, namun perilakunya selama ini seperti apa  coba, toh banyak yang paham kog. Memang kadang orang lupa ketika kekuasaan itu menjadi tujuan utama. Lupa proses, lupa etika, lupa keadaan, dan juga lupa kondisi real yang dihadapi. Kemarin berbicara apa, sekarang apa.
Dua kisah itu memberikan kepada kita beberapa pelajaran
Kekuasaan itu bisa berarti ingin menguasai pihak lain, sejak kecil kata Gus Mus, bayi lahir itu menangis, hendak mengatakan dunia aku kuasai, sedikit besar memaksakan kehendak dengan merengek dan ngambeg jika kehendaknya diabaikan, dan seturut kemampuan dan perkembangan kepribadian ada penyesuaian-penyesuaian.Â
Perilaku dua elit politik itu ternyata malah sebaliknya, abai akan perkembangan. Kondisi yang berbeda namun disikapi sama terus.