Dini hari tadi pertandingan el-clasico  La Liga kurang greget. Hanya pertandingan biasa, dengan selisih satu gol, keduanya tidak ada yang ngotot untuk menyamakan kedudukan pun menambah margin gol. Sangat wajar karena tengah pekan kemarin mereka juga sudah bertemu dalam ajang yang berbeda.
Satu yang cukup menarik, dan jadi ingat kampanye pilpres, di mana Barca begitu santai, tenang, dan memainkan pertandingan tandang, bahkan rival terpanas sekalipun seolah di kandang sendiri. Satu dekade terakhir mereka bisa berjaya di kandang lawan yang angker ini.  Permainan pun  enak berbeda di bawah asuhan Mou dulu, bahkan ada sampai colok mata segala, karyu pun normal hanya empat, itupun kuning. Dulu kartu merah dan kasar menjadi biasa.
Media menyebutkan Barca memiliki stadion latihan di Santiago Bernabeum, Madrid, karena saking mudahnya mereka menang di sana, kadang besar juga selisih golnya. Madrid dan Barca bukan soal sepak bola semata, juga politik, di mana Barca selalu ingin lepas dari Spanyol yang diwakili Real Madrid.Â
Pertandingan kadang lebih heroisme dan nasionalisme kadang terlibat di sana. Untung bukan seperti kamret dan cebong sampai bunuh-bunuhan. Kedewasaan dan sportivitas ini yang perlu menjadi pembelajaran bersama.
Kerja keras dan  keinginan kuat untuk berbenah dan maju membuat Barca yang pernah kesulitan bertanding di Madrid, menjadi seolah itu adalah kandang kedua mereka. Faktor pemain seperti Messi memang berperan, namun tentu bahwa sebagai tim dan seluruh komponen juga memegang peran sangat penting. Sikap optimis menjadi pembeda.
Jadi ingat bagaimana BPN selalu mengindentikan dengan Solo dan Jawa Tengah, namun, mereka tidak menyiapkan apapun secara panjang dan mendalam, hanya asal-asalan. Pokoknya ada pusat dan nyatanya tidak cukup signifikan di dalam kegiatan dan acara. Hanya simbol mati yang tidak berdaya guna. Bayangkan bagaimana Barca bisa menguasai kandang Real Madrid itu dengan upaya keras dan hasil.
Proses dan perjuangan itu ciri orang beriman. Bagaimana mungkin orang yang spritualitasnya lemah, aktivitas ibadah mendasar saja konon tidak bisa, kemudian tiba-tiba mau menguasai lahan "musuh" hanya dengan mendirikan pusat pemenangan. Ini hanya aksi vandalisme semata. Menggambari tembok  dengan kata-kata seolah sudah merebut kota itu. Miris sebenarnya jika berbicara kapasitas capres dengan tim mentereng ternyata hanya tong kosong berbunyi nyaring itu.
Kemarin capres 02 ini lagi-lagi mempertontonkan aksi pesimistiknya. Mengatakan Asian Games sebenarnya tidak setuju karena anggaran lebih baik untuk yang lain. Â Benar memang kadang prioritas itu perlu, namun bahwa kebanggaan itu juga penting. Bayangkan saja dalam keluarga itu, tiap moment khusus misalnya lebaran akan makan enak lebih dari biasanya, pakaian baru, kadang juga mengecat rumah, membeli perabot baru.Â
Padahal juga anggaran tidak lebih, mengapa? Kebanggaan. Kebanggaan di sini diperlukan sebagai membesarkan psikologis anggota keluarga, bahwa mereka sedang bergembira bersama warga yang lain.
Termasuk di sini adalah pembangunan infrastruktur yang dikatakan tidak perlu itu. Jelas salah  betul kata Wapres JK, kita tergesa karena ketinggalan dari negara lain. Apa iya tetangganya rumahnya bagus dan megah, kita hanya bangga dengan gubug reot, padahal mampu membuat.Â
Ingat yang berbicara itu mampu dan megah seperti tetangganya, namun desanya kumuh tidak mau tahu. Mereka hidup di dalam menara gading di antara derita saudara sebangsa karena harus menyubsidi  mereka yang mereka klaim 1% itu. Miris bukan?