Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kala Capres 02 Lupa Teman dan Masa Lalu, Tentara Pekerjaan Kurang Mulia

2 Maret 2019   09:00 Diperbarui: 2 Maret 2019   09:00 1822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentara itu perlu tapi pekerjaan yang kurang mulia karena tugasnya membunuh orang atau mengilangkan nyawa orang lain. Cukup menarik pernyataan capres yang satu ini, bagaimana bisa menilai pekerjaan yang dulu pernah ia tekuni dan tentu banggakan. Apa baru saja kejedot pintu, atau apa?

Tentu bukan tanpa sengaja atau kesleo apa yang ia katakan. Namun memperlihatkan bagaimana kualitasnya di dalam menilai profesi memang bisanya merendahkan. Komplet sudah ketika mengatakan wartawan gaji kecil, jangan jadi tukang ojeg, dan gaj dokter kalah dengan tukang parkir. Ironis sekaligus paradok saja yang ada di dalam benaknya.

Dalam sebuah kesempatan yang lain ia mengatakan, anak petani harus menjadi dokter, lho katanya gaji dokter lebih kecil dari tukang parkir, ini nalarnya piye to? Kalau gajinya gede tukang parkir ya ajaklah jadi tukang  parkir, buat apa kalau menjadi dokter gajinya kecil bukan? Aneh dan koplak malah.  Mengapa ia mengatakan menjadi dokter? Karena di hadapan para dokter, ia merendahkan tentara.

Haduh model pemimpin macam apa sih yang ada ini, isinya hanya merendahkan profesi orang lain. mau mengunggulkan itu jangan dengan merendahkan pribadi lain dong. Kelakuan pemimpin, melamar jadi pemimpin, kog perilakunya seperti alay, ABG labil begitu. Ketika pendekatan pada lawan jenis menjelek-jelekan rivalnya karena kalah dalam banyak hal dengan saingannya itu. memalukan.

Calon pemimpin labil yang perilakunya cenderung asosial, lebih memilih mencaci dan merendahkan dalam cara berkomunikasi dan menyairkan suasana, apa hanya itu kemampuannya? Pantas saja jauh lebih jelas reputasinya yang penuh kegagalan, emosional, dan juga merendahkan pihak lain. Apa yang  ada itu sejatinya memperlihatkan jiwa kecil dan kerdil dari kejiwaannya. Minder yang ditutupi dengan arogansi dan kemarahan, karena menutupi kerapuhannya. Seperti bisul yang tersentil. Membangun citra diri itu bisa dengan  cara positf, itu bagi yang sehat psikologisnya.

Dalam debat kemarin terungkap penguasaan lahan yang sampai ratusan ribu hektar, padahal ia pernah mengatakan kalau kekayaan negeri ini dikuasai 1% saja oleh elit. Apa yang dikatakan dulunya seolah keprihatinan bagi anak negeri ini, ketika ia terbukti "memiliki" tanah sebesar itu, jika meminjam bahasa Cak Lontong, oh ternyata itu adalah pamer.

Rakyat yang ia klaim 99% itu bukan menjadi bahan pemikirannya, atau menjadi beban gagasan untuk diberdayakan, namun dipameri bahwa mereka itu perlu tahu, ada tanah dan mereka cukup puas dijadikan bahan semata ketika pemilu saja.

Beberapa kali perendahan atas profesi dan juga pribadi patut menjadi perhatian bagi pemilih, terkahir ketika marah karena audiens, yang kebetulan adalah para kyai, karena mereka ribut sedangkan si capres sedang berbicara di atas mimbar. Kog soal marah dan memukul meja makin mendapatkan bukti, meskipun masih samar. Pantas saja rekomendasi ulama juga dinafikan. Apa gunanya menjemput Rizieq coba jika demikian? Aneh dan lucu lagi bukan  perilakunya.

Level ulama saja tidak menjadi perhatiannya, SBY sebagai teman angkatan, presiden dua kali, dan juga rekan koalisi tidak menjadi perhatiannya ketika hendak mengadakan pertemuan.  Sikap pemimpin itu bisa menghargai siapapun pribadinya, siapapun orangnya, baik pejabat atau rakyat. Mosok rakyat hanya dimintai suaranya, namun tidak mau menghormatinya.

Profesi dan kedaerahan, direndahkan dengan  tampang tidak punya uang, gaji kecil, tukang ojeg saja pekerjaannya, kabupaten miskin, nah ketika model-model perendahan, jika hendak bersikap lebih bijak, bukan menghina, apa ya patut menjadi pemimpin, yang sejatinya harus menghormati siapa saja tanpa memandang apapun profesi, asal, dan latar belakang lainnya.

Perilaku tidak terpuji diperlengkapi dengan lupa teman. Berkali ulang, rekannya dalam arti sangat luas, terkena kasus di dalam mendukungnya, dibiarkan menderita sendirian kala menghadapi proses hukum. Ada Ratna Sarumpaet. Paling tragis dan menyedihkan apa yang ia alami itu. Sidang perdana tidak didampingi, malah disematkan nama baru mak lampir. Habis manis sepah dibuang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun