Pun dengan mak-mak anggota pepes. Mereka dengan mudah mengatakan, bukan anggota atau bagian dari tim kami. Padahal mengerikan apa yang akan mereka tanggung, di penjara, anak suami menderita, pun keluarganya. Ke mana capres dan koleganya?
Rakyat paling bawah, tanpa tahu permainan elit, mendukung dengan bak babi buta, abai akan risiko, namun mereka telah menjadi korban. Mereka akan dilupakan, lha partai koalisinya saja dibaikan, begitu juga dengan para ulama. Lihat bagaimana Jakarta yang masih terkatung-katung jabatan wakil gubernurnya. Â Toh itu tidak menjadi pertimbangan, pemikiran, dan beban bagi si capres bersama timnya. Yang penting kekuasaan.
PKS bertingkah polah dan bermanufer seperti apapun tetap saja ia melaju dengan dirinya, bukan bersama tim sebagai keluarga koalisi 02. Koalisi hanya alat baginya untuk mendapatkan kekuasaan semata. Kursinya sendiri, partai dan rakyat hanya menjadi ganjal semata.
Jadi bertanya-tanya manusia macam apa ya, kog bisa setega itu dengan rekan dan profesi, perendahan, penghinaan, dan pelecehan terus menerus. Ingat bagaimana ia diajak, bukan ditantang untuk membaca Alqoran bukan sebagai sebuah keharusan mahir dan sekaliber kyai atau ustad tentunya, pengetahuan sederhana sebagai bukti beragama yang baik. Toh malah ngeles ke mana-mana. Â Mana bisa mengaji, ketika wudhu saja kacau. Kan jelas tidak bisa kalau wudhu saja tidak bisa, mana mungkin ia bisa mengaji?
Pantas saja pertanyaan Jumatan ke mana menggelora setiap Jumat pagi. Hal-hal sederhana kelihatannya, apalagi bagi si capres yang memang maaf arogan seperti itu. Memperlihatkan bukti malas belajar. Susah juga pemimpin malah belajar. Agama dan aktivitas ibadah itu penting, pun seolah bukan menjadi prioritas.
Layak ketika unicorn saja tidak paham dan malah ngeles soal pengucapan bahasanya yang tidak jelas.  Lagi lagi ini soal kemauan belajar dan menjalankan kewajiban. Susah berharap banyak, ketika yang wajib saja sudah disepelekan, bagaimana bisa memberikan diri dan melayani sebagai sebuah karya sosial.
Pemahaman nilai moral, menilai ini mulia atau kurang mulia adalah ranah spiritual, bagian moral dan ranah etis, susahlah meyakini ia paham moral, ketika dasar beragamanya saja salah. Mosok tentara tidak mulia karena pekerjaannya membunuh. Jelas saja salah kaprah, pantes saja mahasiswa demo dibunnuh, ups salah, maksudnya mudah melakukan kekerasan. Konteksnya membunuh adalah dalam suasana perang. Mana ada sih perang di era modern dan damai ini. Memang  bahwa persiapan untuk bisa melumpuhkan lawan, tentu dalam hal ini termasuk membunuh. Namun saya kog tidak yakin bahwa TNI dari pertama masuk hingga keluar atau pensiun pernah membunuh musuh, ingat konteks era damai.
Apa jangan-jangan kematian d asrama-asrama pendidikan juga terjadi karena pemahaman "sesat" seperti ini? Susah juga meyakinkan diri untuk memilih pemimpin salah melulu dalam menafsirkan banyak hal. Sejatinya, bukan level capres berbicara seperti itu. Kasihan bangsa ini kalau dipimpin model demikian. punah 2030 Â bisa lebih cepat jika ia menang.
Jokowi lagi saja yang jelas alur pikirnya waras dan lempeng. Satu periode lagi.
Terima kasih dan Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H