Membaca dinamika debat presiden kemarin, malah jadi ingat belasan tahun lalu kala menjadi mahasiswa. Karena sebagian besar ujian akhir semester itu lisan, beberapa kawan dari kampus lain atau pindahan dari kota lain tegang. Ada pintu yang harusnya ditarik malah didorong, mau ngakak takut kualat. Atau ada pena dosen yang sebenarnya untuk mengisi daftar hadir malah dibawa pulang.
Kelucuan yang tercipta karena tegang, takut salah, dan juga takut tidak lulus sebenarnya. namanya juga mahasiswa. Maha sekalipun tetap saja masih berkutat dengan hal yang manusiawi. Takut. Bagaimana tidak takut ada dosen yang full ngakak kalau di kelas, di ruang ujian full serem. Ada pula yang dull nggapleki pada di ruang ujian. Dikerjain habis-habisan kalau kelamaan menjawab atau salah.
Nah kemarin jauh sebelum debat itu ada dua hal cukup menarik yang disajikan BPN. Satu, soal Jokowi yang ngeper karena tiadanya kisi-kisi. Aneh dan ajaib juga perang urat syarafnya ini. kubu mereka itu sama sekali tidak memiliki bekal dan modal untuk banyak omong. Posisi Jokowi yang berpengalaman bertahun-tahun dalam birokrasi, tentu sedikit banyak akan membantunya, paling tidak jauh lebih menguasai seluk beluk  apa yang dilakukan.
Dua, BPN melakuan pembelajaran bagi capres mereka untuk menghafal singkatan-singkatan. Tentu bukan barang mudah, jika itu baru dan berbagai macam latar belakang. Pengalaman 2014 dengan TPID yang tidak mampu dijawab dengan baik, kali ini mau diantisipasi. Apa daya yang keluar bukan singkatan lagi, tetapi istilah yang sejatinya sangat hangat, karena baru saja ada kehebohan.
Dua hal itu adalah soal pradebat dan debatnya. Lucu dan anehnya usai debat lagi-lagi tim sibuk dengan klarifikasi dan pembelaan ke mana-mana. Lagi-lagi keanehan dengan pembelaan soal penguasaan atau kepemilikan tanah. Terserah saja BPN mau omong apa, yang jelas capres mereka toh sudah mengakui.
Tudingan soal penggunaan alat bantu untuk Jokowi yang mulai viral di media sosial. Sudah menggeliat juga nanti cawapres KHMA akan menggunakan sarung, sorban, dan pecinya sebagai alat bantu dalam debat. Kelucuan atau kebodohan sebenarnya? Â Malah seperti sinetron saja, sangat tidak masuk akan demi iklan dilakukan.
Jokowi menjebak dengan pertanyaan soal unicorn. Satu menuding bahasa Inggris Jokowi buruk, ada yang menuduh menjebak seperti TPID.  Apa iya demikian? Itu jelas  omong kosong dan menggelikan. Kan bisa saja capresnya juga menggunakan isilah teknis kemiliteran misalnya, belum tentu Jokowi paham dengan baik. Apa itu menjebak? Jelas bukan. Eh ingat presiden dan capres itu bukan Tuhan yang semua akan tahu. Ada juga ajudan, menteri, dirjen, dan seluruh perangkatnya yang akan memberitahukan apa yang sedang terjadi.
Melihat beberapa hal di atas. Bisa dilihat dan dicermai pola kerja ugal-ugalan dan amatiran ala BPN dan tim serta koalisi ini.
Pertama, jelas mereka hanya fokus pada pilpres, kinerja lima tahunan. Indikasi menghafal sebelum debat kedua membuktikan itu. Coba bayangkan jika selama hampir lima tahun itu belajar banyak mengenai pemerintahan. Tentu tidak akan malu dan terjebak dengan pertanyaan sepele dan remeh, yang kemudian malah menuding pihak lain sebagai menjebak. Kebodohan sendiri jangan dijadikan pembenar untuk menuding pihak lain berbuat tidak adil atau jahat.
Kedua, coba jika sebelum debat itu belajar, menguasai materi dengan baik, dan bukan malah menebar isu-isu yang tidak berguna seperti itu. Ingat ini era media. Semua orang leluasa mengakses, tahu dengan baik kejadian apapun itu. hiruk pikuk tidak berguna yang malah merugikan sendiri, kemudian mau ditimpakan pihak lain.
Ketiga, menunjukkan pola reaktif. Ini  berbahaya bagi sebuah negara jika dipimpin orang-orang seperti ini. Dua paling tidak indikasi tersebut. Soal hapalan singkatan, itu kan reaksi atas lima tahun lalu. Dan kedua soal tudingan Jokowi curang dan menjebak. Namanya debat itu adu argumen, usai panggung debat selesai.  Baru ada capres kog meributkan debat di luar panggung. Kalah dengan anak SMP saja.