Cukup  menarik apa lucu, pokoknya campur aduklah. Sepanjang gelaran kampanye ini masih miskin esensi. Malah lebih menguar itu pelecehan, saling sikat, saling sindir dan ejek.Â
Lebih memiliku melibatkan keluarga besar. Media sosial yang sering tanpa filter itu menjadi alat efektif untuk menyebarkan dan menebarkan hal yang sering ecek-ecek.
Beberapa waktu yang lalu, riuh rendah baik berita, meme, ataupun pernyataan soal Jan Ethes yang dipersoalkan politikus senior. Jelas karena keberadaan Jan Ethes yang sangat polos itu menjadikan kubu sebelah panas dingin. Usai banyak sorotan, si politikus mengelak dengan ya biasa alay, dan sok bijaknya, ada pula yang khas, media memelintir. Lagu lama.
Kini, terbaru, dan juga malah menggemaskan sebenarnya, ketika ada ibu yang merasa sakit hati dengan sikap dan perlakuan anaknya yang sedang masuk panggung politik nasional.Â
Sangat bisa dipahami ketika seoran ibu ikut pedih karena anaknya diperlakukan dengan begitu keras, atau kejam bisa saja bagi konteks si ibu. Mana ada ibu tega anaknya dijadikan bulan-bulanan apalagi netijen kalau sudah berbuat kadang sudah  menjadi mahabenar itu. Pas dipolisikan mewek-mewek.
Berangkat dari apa yang dinyatakan Ibu Mien Uno, bahwa ia merasa sakit dan pedih, meskipun sang putera mengatakan ikhlas. Cukup menarik apalagi jika mau belajar dan berkaca dari apa yang dirasakan oleh Ibu Sudjiatmi, ibu dari Pak Jokowi. Sekitaran lima tahunan ini, plus masa persiapan dan menjadi presiden.
Posisi yang berbeda, satu ibu sederhana, satunya level sosialita. Santapan menu media sosial tentu yang membuat Ibu Mien sampai tidak tahan dengan apa yang dilihat, dibaca, dan didengar mengenai sang putera. Â
Berbeda dengan Ibu Sudjiatmi yang memiliki latar belakang Jawa kental dengan keyakinan ngalah dhuwur wekasane, mengalah itu tinggi kehormatannya.  Yang kadang dipelintir menjadi ngalah dhuwur sengsarane, mengalah hanya akan susah. Ternyata bisa menjadi senjata untuk tetap tenang.
Tentu bukan mau mengultuskan atau memuja Jokowi, jujur saja, apa sih yang sudah dilakukan pada minimal netijen lah yang membuat mereka itu begitu keji hingga mengulang-ulang narasi anak PKI, bukan anak kandung, dan seterusnya.
 Maaf beribu maaf untuk Ibu Mien, Pak Sandi sering menjadi bahan candaan karena perilakunya terlebih dulu yang memang memancing keributan dan kelucuan. Jadi ya maklum kalau pendengar itu menjadi geas dan mengekspresikan dengan gaya masing-masing.
Coba Ibu Mien bayangkan, anaknya seorang presiden, dikatakan hanya plonga-plongo, oleh rakyat yang telah diberikan banyak kemudahan juga kesulitan lho ya, jangan sensi.Â