Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Nasakom" ala Hasjim

30 Januari 2019   09:00 Diperbarui: 30 Januari 2019   09:18 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendadak santri pun bagian utuh dari agamis yang mereka usung bukan? Malah naik level menjadi nabi segala. Kurang apa coba agamis mereka? Level tinggi kelompok agama di dalam kebersamaan mereka. Meskipun ada undangan, ingat undangan untuk tes baca Alqoran tidak ada tanggapan, yo biar saja.

"Komunis" tentu bukan dalam konteks ideologgi sebagaimana PKI masa lalu atau komunis dalam konteks yang sebenar-benarnya lho ya. Membuka untuk menerima anak cucu PKI dengan mengatakan secara terus terang, lugas, dan mengapa perlu dinyatakan, itu menjadi pembeda. Toh selama ini sudah ke mana-mana kog.

Perbedaan era Bung Karno dan Hasjim jelas pada konteks penggunaan ketika kelompok besar itu. Dulu sebagai sarana pemersatu dan upaya demi utuhnya bangsa dan negara yang sedang tumbuh, dengan segala rongrongan.

Kini, kekuatan tiga kelompok besar itu hanyalah prakmatisme sesaat yang penting bisa mengakomodasi banyak perbedaan, soal benar dan salah itu urusan belakangan. Pemilih dan potensi pemilih saja yang penting.

Akhirnya cukup menarik apa yang akan dilakukan Amien Rais, sebagai pribadi dan sesepuh PAN, PKS sebagai partai agamis yang tulen, dan kelompok 212 yang selalu ada di paling depan di dalam membela koalisi ini jika ada "kesalahan"  soal beragama. Apa iya santri milenialnya akan dicabut dan diganti dengan  istilah apalagi?

FPI yang selalu ikut dan dibela ketika berbuat apa saja, apa rela bersanding dengan kelompok yang mereka anggap sebagai paling parah lah pokoknya. Nah coba bayangkan jika mereka bersama-sama dalam satu perahu? Apa kata dunia coba? Mosok mereka mau sih, jangan mau lah kan luntur nanti kualitas keagamaannya. Kan mereka paling suci mosok didampingi "sampah" sih?

Patut dinantikan ini reaksi mereka yang selalu gembar-gembor paling nasionalis, paling agamis, kalau diam saja ada apa? Beneran kardus yang bicara?  Menjadi lucu ketika tidak ada reaksi apa-apa, padahal jelas-jelas secara ideologis berbeda jauh, bahkan selama ini seolah menjadikan komunis sebagai serangan pada kubu lain. Ketika mereka "terbuka" dengan amunisi untuk lawan, ada apa?

Apakah akan meluruskan maksudnya, atau seperti apa patut ditunggu. Toh selama ini apapun yang dinyatakan elit koalisi itu kebenaran mutlak dan kubu lain yang harus menanggung deritanya dengan tuduhan aneh-aneh.

Apa iya kepemimpinan penuh kelucuan seperti itu mau diberi kepercayaan mengelola negeri besar ini? saling menegasikan keberadaan satu sama lain yang jelas kontraproduksi. Kapan membangun jika setiap saat hanya ribut dan kemudian klarifikasi?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun