Beberapa waktu lalu, ketemu teman yang sama-sama lajang di pertengahan 40-an. Pas saya tanya apa keputusannya, eh dia bilang mau menikah, tetapi apa yang ia hidupi itu bukan pola hidup berpikir untuk berkeluarga. Seolah dia kaget dengan pertanyaan saya. Ia coba mengalihkan pertanyaan ke saya, ada rekan yang mengambil alih bahwa saya sudah memutuskan.
Media kini ramai memberitakan mengenai Ira Koesno yang mendekati pertengahan abad masih sendiri. Mengapa harus ribet soal status, bukan kualifikasi ia sebagai apa atau bagaimana hidupnya yang berdampak bagi sesama. Pun status Rocky Gerung.Â
Judul dengan berbagai hal yang cenderung mempertanyakan, mengapa, dan ada apa. Memangnya salah? Tidak perlu sensi dan mengaitkan dengan agama tertentu, ini bicara pilihan bukan agama.
Dari pada ndhedher kere, lebih baik sendiri. Dari pada memperbanyak penderitaan, mengapa tidak sendirian saja. Beberapa orang memilih menikah namun malah membuat anak menderita karena gaji tidak cukup untuk menanggung beban yang makin mahal.Â
Sering orang mengatakan, jangan lupakan Tuhan. Benar dan setuju, namun jangan juga memerkosa Tuhan untuk menyukupi kebodohan dan kemalasan manusiawi.
Kualitas hidup generasi berikut akan lebih baik atau tidak? Jangan lupa, keluarga akan ada anak dan  mampu tidak menghidupi dan menyejahterakan mereka. Mungkin dalam soal keuangan tidak masalah, namun bisa tidak mendidik anak-anak secara berkualitas.Â
Jangan sampai anaknya malah menjadi anak gatged, atau anak ART. Bagaimana pertanggungjawaban  moral sebagai orang tua jika demikian. coba bayangkan jika hidupnya masih suka belanja, suka senang-senang, eh harus  menjadi pribadi domestik demi anak, mampu dan mau tidak?
Di dalam sebuah pemberitaan, wartawan mengulik narasumbernya di sebuah PA. Ibu muda itu mau cerai karena suaminya tidak mau berbagi hasil kerjanya dengan layak. Gajinya hanya sebagian kecil yang ia berikan kepada istri.Â
Sebagian besar untuk senang-senang sendiri. Si istri memilii inistiatif mencari tambahan, ternyata menjadi simpanan jejaka royal. Jelas ini runyam. Ketidaksiapan menjadi orang tua.
Hidup keluarga juga memiliki tanggung jawab sosial yang lebih. Bgaimana hidup bersama di tengah dua keluarga besar, bukan hanya satu. Masih juga jangan dilupakan hidup bersama masyarakat, pun di dalam dunia kerja.
 Itu memberikan dampak dan tanggung jawab sosial yang tidak mudah. Solidaritas jika ada yang memiliki gawe, orang meninggal, orang sakit.  Itu tidak sebesar tanggungan pribadi lajang. Memang ini bukan sebuah kewajiban, namun sebentuk etika hidup bersama.