Semalam debat pertama sudah berlangsung. Hangat, riuh rendah komentar soal itu. hampir semua grup percakapan isinya ngomel-ngomel soal debat. Tahu begitu juga nonton. Sejak awal saya memilih tidak meningikuti.Â
Toh media, pun komentar rekan kadang jauh lebih memberikan informasi dan inspirasi. Ada juga media yang bisa membantu jika memang mau melihat secara utuh, dan tidak real time, bisa lebih membantu, bagi saya.
Sisi lain juga cukup memberikan bahan ulasan, namanya politik itu kadang, bahkan lebih sering di balik panggung yang hingar bingar itu hasil paling mendekati kebenaran.Â
Bisa saja yang heboh hanya kamuflase di balik meja, balik panggung, dan balik ruang sidang, di mana lobi-lobi itu juga memegang peran penting. Diplomasi dan akhirnya mendapatkan titik temu yang hasilnya jauh berbeda daripada yang terjadi di panggung atau permukaan.
Salah satu yang menarik adalah absennya SBY datang mendampingi capresnya dalam debat. Mengapa menarik? Posisi SBY yang sejak awal cuma pasif, diam saja, dan seolah tidak pernah terlibat secara penuh dalam gelaran pilpres ini. Hanya melibatkan beberapa pengurusnya untuk ikut ribut yang pada dasarnya jauh dari kebiasaan SBY dan Demokrat.
Tanda tangan dukungan pun menyusul dengan kertasnya yang datang bukan SBY datang memberikan tanda tangan dan cap. Ngambeg pas pawai deklarasi damai, yang mengaku tidak mendapatkan perlakuan yang layak sebagai presiden dua periode.Â
Tiba-tiba turun dan pulang. Posisi sudah nomer tiga, di belakang para kandidat, lha Mega pun tidak di depannya, kan juga presiden, juga ketum parpol. Apa mau di depan rombongan? Â Lha malah seperti pembuka jalan dalam adat perkawinan beberapa budaya lah.
Kemarin, sebelum debat, waktu capresnya melakukan pidato kebangsaan, dalam videl yang sempat viral, tampak SBY yang kebingungan karena "dicuekin" capresnya. Posisi yang bagi SBY adalah sangat tidak patut. Ingat ia presiden dua periode, dan ketum partai yang pernah menang pemilu lho. Â
Wajah kecutnya memperlihatkan kekecewaan dan merasa tidak diharapkan. Eh malah enyambut bule yang hingga kini toh belum ada media yang menyatakan siapa bule yang lebih diperlukan oleh koalisi itu daripada SBY.
Dalih yang dinyatakan SBY adalah sikap KPU yang dinilai aneh, padahal KPU mengundang SBY sebagai presiden keenam, mungkin maunya disebut dua periode yang lebih memberikan daya besar bagi egonya ya. Berkali ulang KPU menjadi sasaran dan kecenderung delegitimasi oleh Demokrat.Â
Malah jadi tanda tanya, Â jangan-jangan dulu menggunakan KPU untuk kepentingan sendiri. Coba bayangkan hanya Demokrat saja yang naik turun bak biang lala itu, dari menengah menjadi jawara dan turun lagi. Layak jika publik bertanya dan apalagi tuduhan ke KPU juga makin masif dan aneh-aneh.