Pemilu makin dekat, kedua koalisi sebagai motor penggerak utama Pemilu menampilkan dua wajah kontras. Mengapa hanya fokus pada kedua ketua umum partai politik saja? Toh partai lainnya hanya menjadi pengikut bahkan seolah penggembira dari kedua partai politik ini. PDI-Perjuangan dan Gerindra yang mendominasi corak, warna, dan tipe politik akhir-akhir ini.
Partai lain seolah diam seribu bahasa, tenggelam, atau hanya menyuarakan apa yang menjadi pola utama dari partai politik pengusung, sebagai pendukung jelas tahu dirilah, maunya apa si boss. Apalagi jika kardus beneran bicara, sudah tidak memiliki kuasa apapun untuk memberikan warna kecil sekalipun.
Baru-baru ini, Ketua Umum PDI-Perjuangan sebagai pengusung Jokowi Widodo-KH. Ma'ruf Amin memberikan perintah harian kepada kader dan jajarannya, salah satu poin yang sangat penting dan krusial mengenai tampilkan politik yang oenuh kegembiraan. Ini menjadi penting, di mana beberapa saat terkahir khususnya dan epat tahun terakhir khususnya, kita dipenuhi dengan politik kecemasan dan ketakutan.
Salah satu faktor pemicu maraknya politik dikotomis ini adalah, ketidaksiapan menang ataupun kalah. Miris sebenarnya, ketika bermain dalam ranah politik, namun hanya fokus atas kemenangan, dan takut kalah. Ini bukan medan perang atau arena laga sabung ayam. Kalah menang dalam politik itu sangat biasa.
Salah satu menang dan satu pasti akan kalah. Nah bagaimana jika ada yang tidak mau dan tidak siap kalah. Akhirnya malah model fasisme yang ada, membenarkan segala cara demi mendapatkan kemenangan. Kondisi ini yang menyebabkan perpolitikan menjaid gerah, panas, dan permusuhan seolah tiada akhir. Kamret vs cebong seolah adalah abadi, padahal hanya lima tahun selesai dan ganti, eh perseteruan dengan berbagai varian dan model tercipta. Miris sebenarnya.
Wajah kegembiraan, pesta demokrasi, dan satu bangsa yang demokratis itu terkikis karena segelintir orang yang tidak mau kalah itu menggunakan corong media sosial yang baik itu demi kepentingannya. Menciptakan akun abal-abal, kloningan yang masif untuk menyebar dan menebar kebencian, permusuhan, fitnah, dan juga tidak kalah maraknya kebohongan.
Kesadaran bahwa politik, demokrasi, dan termasuk bermain dalam kancah politik itu ada yang namanya periodisasi, jadi ketika kalah ataupun menang ya hanya itu, terbatas, akan berganti. Mengapa harus sewot menunggu di tikungan untuk menelikung. Lihat pola itu yang menguat empat tahun terakhir.
Kalah akan Punah, benarkah ini penyemangat untuk kadernya? Ah jelas susah diterima akal sehat. Kecuali bagi kanak-kanak dan ibu atau bapak tradisional enggan kerja keras dalam menasihati anak. Hantu, gendruwo, dan menakut-nakuti menjadi gaya di dalam menerapkan pemaksaan kehendak di dalam keluarga. Hayo dilaporkan pak guru, ada polisi atau tentara, dan sejenisnya membuat anak bukannya disiplin  namun ketakutan.
Pengerahan massa kalau ada perbedaan pendapat. Susah juga maju jika model premanisme jalanan itu yang menjadi kebiasaan. Benar bahwa memang demontrasi atau mogok itu sah, namun bukan menjadi satu-satunya cara dan jalan. Itu adalah alternatifakhir jika keadaan atau cara lain sudah mentok dan tidak lagi dijadikan jaminan memberikan jalan keluar.
Demonstrasi damai sekalipun tetap ada kekhawatiran, kecemasan, dan perasaan was-was yang timbul. Apalagi sampai anarkhi, sweeping, dan perilaku ugal-ugalan lain yang tidak terkendali. Belum lagi ketakutan dan was-was yang mendalam, seperti trauma, khawatir yang tidak mendasar, dan itu tujuan yang dipakai oleh politikus penebar ketakutan.
Ketakutan pun dibangun dengan data abal-abal yang memang akan demikian. Jika merujuk data asli mana ada ketakutan, yang nampak jelas harapan dan kegembiraan. Data yang dipakai sudah disulap sehingga persepsi massa terganggu.