Program kerja asal-asalan ini sebenarnya hal yang sangat wajar karena sejak awal mereka memang tidak memiliki visi mau apa dengan menjadi capres dan cawapres itu. Seolah hanya pokok e, bagaimana bisa seorang pemimpin mau maju dalam kancah pemilihan namun tidak memiliki sebuah visi, rancangan, dan gagasan mau apa dengan negeri ini.
Pantas saja hanya memberikan tampilan dalam dua bentuk pola besar, antitesis pemerintah dan kebohongan demi memberikan gambaran ketakutan bagi para pemilih. Pengulangan yang itu-itu saja.
Antitesis pemerintah, sekaligus adalah rival di dalam pilpres. Tengok saja rekam jejak mereka yang berkisar untuk mendeskreditkan pemerintah. Kadang memang berdasar, namun lebih sering tidak berdasar, asal-asalan, dan tidak memberikan sebentuk solusi.
Nyinyiran, lebih tepat demikian daripada kritik. Soal infrastruktur yang jelas diulang-ulang dengan  berbagai-bagai narasi, toh tetap menikmati pembangunan yang ada. Berbeda jika mereka memberikan janji atau program yang lebih baik. Toh ngibul juga soal pembangunan tanpa hutang.
Soal hutang luar negeri dan penguatan dollar beberapa bulan lalu. Pada soal dollar tidak hanya rupiah yang tertekan, ramainya minta ampun, kini ketika rupiah berjaya, diam saja. Tidak ada satu suara keluar. Jelas berbeda bukan dengan kritik? Kritik itu juga akan mengapresiasi. Berbicara hutang negara pun banyak penyembunyian data, fakta, dan kenyataannya. Ada periode presiden yang sebenarnya banyak berhutang dan sumber kebocoran, namun tidak disebutkan.
Apa yang pemerintah lakukan, menjadi gagasan, dimentahkan,  dan kelompok atau pribadi  yang bersikap menentang pemerintah akan didekati, dibela mati-matian, meskipun pelaku kriminal sekalipun. Miris bukan? Termasuk HTI di mana ormas yang hendak mengubah negara tetap dibela mereka, karena memerlukan suara mereka di dalam pilpres. Kelompok yang cukup banyak pengikutnya.
Pelaku kriminal, pelaku ujaran kebencian akan dibela mati-matian, ketika terdesak, ajian saktinya tidak, bukan bagian kami, dan model sejenis. Hal yang berkali ulang ditampilkan. Mulai dari Jonru, Buni Yani, Ratna Sarumpaet, dan terbaru Bagas penyebar hoax tujuh kontainer. Melupakan kawan yang terkena kasus hukum.
Model kedua adalah kebohongan. Tentu tidak perlu diungkapkan lagi, bagaimana mereka berbohong, toh media begitu melimpah memberikan data kebohongan mereka itu.  Salah satu  yang berkaitan dengan kebohongan dan antitesis pemerintah, dan juga berkaitan erat dengan digdayanya rupiah saat ini, kata Sandi orang berbelanja dengan uang Rp. 100.000,00 tidak cukup untuk keluarga, dilanjutkan Titik Soeharto dengan nominal Rp.50.000,00.
Ternyata di pasar, faktanya tidak demikian. Yang percaya dan yakin hanya pengikut butanya. Fakta dan kebenarannya disembunyikan separo, di sanalah apa yang patut menjadi catatan apa mereka layak dipilih dan dipercaya untuk memimpin negeri ini.
Menebar ketakutan dengan kebohongan. Bangsa ini akan bubar, jika dikelola seperti ini terus. Lha programnya saja tidak jelas, apa malah bukan yang menjadi penyebab bubar itu program kerja yang tidak jelas itu? Â Berkali-kali, kebohongan untuk menebar ketakutan. Terakhir mengenai selang cuci darah dipakai untuk 40 kali penggunaan.
Kebohongannya itu demi menebar ketakutan, dua perilaku buruk yang dipertontonkan, diperlihatkan dengan gamblang dan vulgar, tanpa merasa malu dan segan sama sekali. Apa pantas model perilaku demikian di tengah bangsa yang berazas Pancasila dan beragama?