Tante Wiki memberikan penjelasan vigilante adalah seseorang atau kelompok yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri. Istilah yang berasal dari bahasa Latin, vigilies urbani, yang diberikan  kepada penjaga malam di Romawi kuno yang bertugas memadamkan kebakaran dan menjaga keamanan. Sederhananya adalah pihak yang menegakan hukum padahal bukan penegak  hukum, seperti superman, badman, dan model itu.
Akhir tahun lampau, tindakan yang masih masuk dalam konteks ini juga terjadi. Kisah pemakaman di Yogya, bisa juga dimasukan dalam konteks vigilantisme ini. Sebenarnya banyak hal demikian, baik dalam arti yang sangat luas, hingga yang paling ketat sekalipun.
Waktu yang lampau, di Yogja juga terjadi, di mana ada orang yang menghentikan konvoi moge, yang dinilai arogan, di mana ada yang menghentikan dan menjadi viral. Atau ada orang yang "mengusir" pemotor yang naik ke kaki lima. Kisah yang lain, penertiban ini dan itu dengan alasan yang ini dan itu juga, dan bukan oleh penegak hukum negara.
Maraknya vigilantisme itu paling tidak ada tiga hal yang bisa menjadi latar belakangnya;
Pertama, Penegakkan Hukum
Masalah penegakan hukum yang lemah, masih tebang pilih, dan tidak jelas. Tentu bahwa dipahami dengan baik, bagaimana penegakan hukum negara ini, apalagi jika menyangkut agama dan kelompok tertentu. Benar bahwa penegakkan hukum sudah mengarah  pada idealisme dan semestinya, toh masih banyak yang tidak mau yakin akan keberadaan polisi dan perangkat peradilan lain.
Aksi sweeping, memang sudah tidak lagi semarak yang lampau, namun masih ada aksi-aksi sporadis di mana itu juga perilaku vigilantisme. Atas nama moral namun melanggar normal dan hukum, menjadi kontradiksi yang cukup serius.
Penegakan hukum juga masih terkendala atas aksi massa, di mana gerudugan, masih cukup efektif untuk menekan terjadinya penegakan hukum. Kondisi ini membuat penegakkan hukum sejatinya tidak obyektif, ideal, dan semestinya. Penegak hukum bisa "ketakutan" dan atas nama kepentingan umum, bisa saja yang seharusnya dihukum malah dibebaskan dan sebaliknya.
Sikap permisif, di mana para "korban" juga tidak pernah melapor, karena merasa itu bagian dari iman, sehingga menerima saja keadaan yang sejatinya pelanggaran hukum.  Ada pula pilihan itu hal yang sudah merupakan salah kaprah, salah namun dianggap biasa karena banyak pelaku dan yang menilai itu. Kadang pun penegak hukum juga merasa itu baik-baik saja.
UU dan perangkat perundangan yang masih multi tafsir, pasal-pasal karet yang sering menjerat pelaku vigilantisme sebagai kesalahan kecil, khilaf, dan kemudian meminta maaf, namun mengulangi lagi sebagai hal yang seolah biasa saja. Kembali atas nama agama, memaafkan, dan melupakan penegakan hukum.
 Kedua, Pembiaran