Drama Natal yang dilakoni Prabowo  itu sebenarny tidak ada hal yang luar biasa. Ini negara Pancasila, sepakat apa yang dinyatakan salah seolah elit TKN, bahwa hal itu tidak perlu diperpanjang. Sepakat. Hal yang perlu dilihat dan dicermati itu pola mereka, kebiasaan mereka yang mengaitkan agama, atau isu agama, namun jika mereka yang mendua biasa-biasa saja. Sikap munafik dan mendua ini yang perlu dicermati, kebetulan adalah moment Natal yang menjadi sarananya.
Ramai-ramai membela diri dan meluruskan apa yang telanjur viral di mana Prabowo girang bukan alang kepalang di dalam acara keluarga di dalam merayakan Natal. Cukup wajar para pengusung dan pendukung itu mencoba memberikan klarifikasi, pembelaan, dan memberikan sebuah upaya membela diri. Mengapa demikian? Ya karena  kebiasaan mereka saja yang demikian, jadi mengukur dengan ukurannya sendiri. Wajar.
Indonesia adalah Negara Pancasila dan memiliki UUD '45 apa yang dilakukan tidak ada yang dilanggar, sah, dan sangat baik di alam demokrasi ugal-ugalan bisa ada pelaku yang biasanya diteriaki oleh lingkarannya. Kini bermain air terpercik muka sendiri. Main api kebakar, dan tergulung bola salju yang ia ciptakan.
Syukur bahwa TKN menyatakan, jangan besar---besarkan, toh itu hal yang lumrah dan wajar, apalagi ini Indonesia yang beragam. Cukup menarik apa yang justru disampaikan kubu rival, yang biasanya mereka diserang, kini mereka membuat momentum ini sebagai pembelajaran bersama untuk berdemokrasi secara  sportif.
Pihak yang bak kebakaran jenggot sejatinya adalah yang biasa melakukan itu untuk kepentingan sesaat. Langsung saja gegap gempita untuk membela karena lagi-lagi soal kebiasaan, takarannya untuk kelompoknya, sebagaimana ia lakukan ke rival.
Koalisi itu seolah tubuh, di mana satu bagian tubuh sakit, semua merasakan hal yang sama. Coba jika jari kaki paling ujung dan bawah sana ada yang tertusuk duri, otak di bagian kepala paling atas pun merasakan, tubuh bisa meriang dan demam, jari bengkak itu, nyerinya ke mana-mana. Badan itu satu kesatuan utuh, tidak bisa mengatakan kalau kaki yang sakit, ya salah sendiri tidak memperhatikan sekitar.
Mana bisa kaki menderita namun mata mengatakan demikian, padahal kan mata yang berperan untuk menyaksikan duri, dan memerintahkan otak untuk mengarahkan kaki menghindari duri tersebut. Itu namanya koordinasi yang sinergis.
Nah ternyata koalisi ini tidak demikian. Salah satu organ koalisi ini diam saja, PKS tanpa reaksi sama sekali. Serba salah bagi PKS dengan perilaku capresnya ini. Pertimbangan  yang perlu dilakukan dengan masak agar tidak jadi masalah bagi mereka sendiri.  Jelas ada hal yang tidak sinergis, koordinasi yang tidak semestinya.
PKS memang tidak pernah menyatakan ucapan Natal itu boleh atau tidak, hanya memang di dalam organ mereka ada pro dan kontra, namun keputusan akhir ikut MUI. Soal ini hanya menjadi salah satu indikator di mana, biasanya paling getol mengaitkan apa-apa dengan agama. Label yang seolah adalah  sudah paling benar, paling suci dan saleh, paling menjunjung tinggi moral agama.
Namun reputasi mereka toh sama-sama bisa dilihat seperti apa. Korupsi juga hal yang biasa, seolah bukan  permasalahan yang mendasar bagi mereka. Mengubah persepsi massa dengan pernyataan mereka, tidak jarang sesat pun seolah hal yang wajar, tidak pernah menjadi pertimbangan matang.
Mereka juga yang getol mengatakan bahwa calon presiden mereka adalah yang direkomendasikan oleh ulama, dalam ijtima ulama. Nama-nama yang masuk dalam rekomendasi mereka, yang anggota parpol  cenderung banyak dari partai yang satu ini.  Ada kesamaan  gagasan dan arah, paling tidak.