Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bendera, Simbol yang Mengambil Alih Esensi Demokrasi

19 Desember 2018   07:29 Diperbarui: 19 Desember 2018   07:36 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kampanye sedang berjalan, tensi politik menghangat, cenderung panas. Ajang pesta demokrasi ternyata susah terjadi karena perilaku emosional, ugal-ugalan politikus miskin esensi masih menjadi salah satu punggawa demokrasi. Sangat wajar karena toh masih belajar berdemokrasi, dan itu harus dijalani dengan setia.

Salah satu bagian utuh demokrasi itu adanya waktu kampanye bagi baik kandidat calon legislator, senator, ataupun juga eksekutif. Saling sindir, saling serang, sebenarnya wajar dan sah-sah saja, sepanjang itu masih dalam koridor etis. Namun sering lebih mengemuka itu serangan pada sosok pribadi dan bukan program atau visi dan misi para calon.

Mirisnya jarang ada visi dan isi calon meskipun wakil dari partai. Semata mengekor atau malah kadang sama sekali tidak memiliki tujuan yang jelas menjadi apapun di dalam berdemokrasi. Tidak salah ketika menjadi anggota dewan hanya duduk, diam, dengkur, dan doit yang menjadi ritme mereka. Sejak awal hanya mencari pekerjaan dibungkus dengan bahasa keren, yang mereka juga tidak paham yang katanya menyejahterakan warga, menjadi saluran aspirasi masyarakat.

Benar bahwa masih banyak  orang baik di legeslatif, eksekutif, dan senator, serta di manapun. Seiring kemajuan media informasi, kadang corong kebaikan itu kalah lantang dengan agen-agen iblis yang malah nyaring berbunyi mengiklankan junjungan mereka yang sekarang ini sudah pensiun. Si setan pensiun dan malah digoda manusia, manusia mencari-cari setan, bukan setan menggoda manusia lagi. Nah salah satu perilaku roh jahat adalah membesar-besarkan masalah dan persoalan.

Peran pihak yang suka kebaikan dan kebenaran adalah menyuarakannya itu apapun konsekuensinya, sebatas kemampuan dan kapasitas masing-masing.  Harapan akan makin membesar ketika orang baik menyuarakan kebenaran, dan bersama dengan para agen kebaikan saling menguatkan dan menularkan.

Masa kampanye akan menghangatkan suasana, tapi jangan lupa esensi di mana demokrasi adalah pesta rakyat. Masih perlu waktu dan proses ke sana. Butuh kesempatan belajar menemukan yang terbaik bagi bangsa ini. Salah satu persoalan dalam kampanye adalah adanya bendera, banner, spanduk, dan baloho di mana-mana.

Beda dengan iklan komersial yang akan memberikan pajak bagi pemda, tertib ada batas waktu yang jelas nantinya akan diturunkan satpol PP dan perangkatnya, kalau iklan parpol ini jarang yang benar-benar baik, berbayar pajaknya, dan sampai tahun depan pun masih akan di sana dengan compang-camping yang makin jelek seburuk kualitas parpol di dalam ranah kepercayaan itu.

Satu dua memang ada ikla berbayar yang tentu indah dengan penataan sesuai  dengan banyak aturan yang mengikuti, pencahayaan baik, dan seterusnya. Jauh lebih banyak yang suah jelek asal-asalan lagi. Pusat-pusat keramaian, bisa perempatan, taman kota, perbatasan antarkota atau provinsi, bahkan jembatan pun menjadi ajang promosi murah ini.

Bagus dan semarak memang, jika itu dikelola dengan baik. Bagaimana bisa bendera itu kadang miring tidak karuan, sudah begitu robek di sana-sini pun tidak peduli. Kayu atau bambu yang asal-asalan, mana mau mereka berpikir baik dan rapi. Tidak mau tahu. Yang penting murah meriah dan menjanjikan. Akhirnya ya sama dengan apa yang mereka hasilkan. Receh semata.

Polusi lingkungan sangat jelas. Buruknya penataan karena asal-asalan, menang tinggi dan besar, soal  isi, jelas sama saja. Janji-janji yang sering sama sekali tidak mendasar dan realistis, cenderung bombastis.  Janji pun kadang melanggar aturan, karena asal-asalan.

Pemandangan menjadi buruk, sering demi murahnya pun pohon-pohon menjadi sasaran. Bagaimana mereka bisa menghargai orang lain ketika mereka hanya berfokus pada diri dan jualannya saja demikian. Pernah Sri Sultan jengkel karena di dalam keadaan bencana Merapi meletus beberapa tahun lalu, malah penuh dengan bendera parpol dan caleg ini. Di mana otak dan hati mereka coba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun