Beberapa lembaga survei merilis hasil soal kepercayaan publik atau masyarakat, menempatkan salah satu yang tertinggi dipercaya adalah presiden dan lembaga kepresiden termasuk tentunya. Apapun lembaga survei memberikan data yang relatif sama. Bersama dengan KPK dan TNI (TNI ini masih perlu dilihat lagi), sisi sebaliknya, dewan dan parpol menjadi paling tidak dipercaya dan cenderung korup.
Salah satu tanggapan dari anggota dewan, elit parpol, mengatakan, sebenarnya dewan jauh dari anggaran, susah menerima jika dikatakan paling korup. Aneh, lucu, apa bloon orang ini  ketika mengaitkan korupsi hanya dengan anggaran. Bagaimana perilaku bobrok mereka dengan absensi penuh namun gedung kosong, kinerja jeblok dari banyakan RUU dan UU yang dihasilkan.  Korupsi bukan sekadar anggaran, atau besaran uang yang dimaling.
Tentu bukan dalam arti bahwa Jokowi sendirian, seorang diri, dan hanya dia yang berperan, namun bahwa lembaga-lembaga terkait, pribadi-pribadi yang ada itu jauh dari apa yang seharusnya mereka lakukan. Susah bagi mereka untuk berbuat atau mengatasi korupsi karena lebih banyak yang nyaman dengan perilaku jahat itu.
Masih banyak  orang baik, lembaga baik, dan kelompok peduli, namun sering kalah garang, kalah suara, kalah corong, dan memilih diam saja. Ini menjadi masalah krusial karena ketakutan atas perilaku tamak pihak lain yang sering malah lebih galak dan mengancam kehidupan dan mata pencaharian.
Sudah banyak lembaga negara yang diiobok-obok KPK dan mereka jelas melakukan perlawanan sengit. Mengatakan pengawasan internal kami berjalan bla...bla...bla, dan ketika di persidangan toh terbukti juga maling dan kong kalikong mereka. Kebanggaan akan korps sering salah, seperti orang tua yang memanjakan anak dan selalu memuji dan menertawakan anak meskipun berbuat salah. Bangga akan korps itu juga kalau salah diadakan perbaikan bukan malah berdalih benar.
Sering orang berteriak-teriak mengatakan revolusi mental malah makin kacau. Ingat ini baru empat tahun, sedangkan mereka yang pesta pora itu lebih dari empat dasa warsa. Masa Habibie hingga Megawati, biarlah, bukan menjadi bahan pertimbangan karena masa transisi dan masa penjajakan yang masih belum paham mau ke mana. Lima tahun lebih sedikit eforia tanpa makna, namun plus dua periode SBY itu penting.
Beberapa lembaga masih amburadul dan kacau soal korupsi, jelas peradilan. Mengapa survey tidak menempatkan lembaga ini pada posisi atas? Karena jarang orang per orang itu berhadapan langsung dengan peradilan. Apalagi hingga tingkat MA.
Kelucuan dan keanehan MA banyak sekali, ke mana kisah sekretaris kaya MA, Nurhadi? Belum lagi jika melihat dari yang paling bawah. Panitera pengganti yang memiliki taman wisata water boom hingga rumah sakit. Eh malah mendengar MA memberikan diskon akhir tahun bagi Nur Alam. Spesial akhir tahun untuk koruptor. Belum lagi kelucuan mereka di dalam melakukan penegakaan keadilan di Indonesia.
Ombudsman pernah menyatakan, di dalam peradilan di Indonesia, kerja sama itu justru ditawarkan oleh perangkat peradilan lebih dahulu, ironisnya lagi, pada pertemuan pertama. Mereka berinisiatif, mereka memulai, dan gilanya adalah pertemuan pertama sudah langsung memberikan  tawaran itu. Jauh lebih gila dari preman pasar yang masih melihat segala kemungkinan. Ini pun tidak ada tindak lanjut. Hanya omong kosong para hakim agung itu bicara ini dan itu, toh nyatanya sama saja.
Lebih susah lagi jika bicara korupsi dengan dewan. Mereka entah  sudah terlalu nyaman atau tidak mau tahu. Soal absensi itu korupsi paling mendasar, elementer, jika yang dasar, receh, remeh begitu saja tidak bisa, bagaimana bicara yang esensial soal isi  perundang-undangan. Absensi kosong namun gaji tetap diterima, ini kan nyolong, tidak bekerja kog menerima uang. Tengok karyawan atau buruh pabrik itu yang akan dipotong jika telat bukan saja tidak datang, hanya telat.
Soal absen ini receh, belum lagi isi perundang-undangan yang diperjualbelikan. Jauh lebih mengerikan daripada jawaban sekadar bukan pemegang anggaran. Ini pun masih bisa diperdebatkan saat pembicaraan anggaran ada penggelembungan, ada permintaan ini dan itu, dan sebagainya, ingat itu juga korup.
Induk dari dewan adalah partai politik. Susah memperbaiki kondisi partai politik, ketika mereka adalah juga pelaku utama di dalam perilaku korup. Membeli suara, membeli pemilih, bahkan kader pun mereka perjual belikan, mahar politik, dan semua itu akan berimbas pada jawaban ketika menjabat. Jabatan adalah kesempatan untuk mengeruk uang kembali bagi pundi-pundinya yang mulai terguling.
Zumi Zola dan Nur Alam, diikuti banyak bupati walikota lainnya adalah gambaran itu. Ini soal parpol, bukan soal pendukung atau bukan pendukung pemerintah. Sama saja. Perilaku korup ada dalam habitat yang cocok, parpol bukan memandang asalnya.
Parpol memiliki tanggung jawab dengan tegas, bukan hanya basa basi semata. Toh kenyataannya tertangkap maling dengan parpol A, besok nongol lagi di parpol B bak pahlawan. Mengapa demikian? Karena parpol selama ini adalah jembatan emas untuk jadi apa saja. Posisi dan peran strategis ini yang menjadi bencana bagi bangsa karena tidak dibarengi dengan kehendak yang baik sejak awal.
Korupsi mau diberantas, jangan kaget kalau banyak orang dan lembaga yang meradang. Lihat saja ada apa di balik aksi-aksi lucu, tidak bermutu apalagi via media sosial, itu semua bermuara dan berasal dari uang yang akan hilang jika keadaan semakin baik. Salah satu serangan yang paling jelas adalah pemerintah, Jokowi di mana presiden yang benar-benar membuat sesak nafas bagi para pelaku korupsi. Tidak heran tuduhan aneh-aneh tidak mendasar mudah tersemat. Hanya untuk melemahkan semangat untuk mematikan kran koruptor saja.
Melemahkan KPK dengan berbagai isu, malah oleh dewan sendiri, jelas arahnya dan pelakunya koruptor melalui kaki tangannya yang telah menggurita sekian lama dan ke mana-mana. Ini masalahnya adalah korupsi itu saja masih bisa diterjemahkan sekehendak  hati.
Ada yang korupsi namun merasa itu benar, rezeki, ini terjadi karena mental maling yang sudah mematikan nuraninya. Bagaimana bisa tidak bekerja mendapatkan uang dianggap rezeki? Ayam saja perlu mengais untuk makan, lha ini ongkang-ongkang, main belakang, dan kaya raya.
Dukungan rakyat memang penting, namun godaan oposisi yang tidak mau tahu, pokok menang sangat mengganggu untuk menjalankan aktivitas antikorupsi ini. Serangan-serangan mereka menghabiskan energi, yang harusnya untuk membangun hanya untuk menjawab dan menangkis mereka.
Partai pengusung dan pendukung pun malah menambah masalah usai dengan pansus KPK, kini antri masuk bidikan KPK. Jelas bahwa ini adalah indikasi tidak tebang pilih, namun oleh rival politik waton sulaya dianggap sebagai rezim korup. Padahal kubu mereka pun belepotan dengan korupsi. Beban yang memberati langkah, tidak perlu terjadi sebenarnya.
Kepercayaan rakyat bisa menjadi penghiburan di mana beban Jokowi sangat berat karena perilaku tamak di antara anak bangsanya. Barisan rakyat dan pejabat bersih membuat energi baru yang bisa habis karena menghadapi perilaku ugal-ugalan politikus enggan kerja keras.
Langkah perbaikan jelas sudah tampak, perlu waktu itu jelas, dan ada harapan akan lebih baik lagi. Dukungan menjadi penting, agar tidak kehabisan energi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H