Ketika Luis Milla datang, ekspektasi massa penggila bola meningkat, apalagi saat permainan timnas berubah. Harapan membumbung, meskipun awal-awal juga belum memberikan hasil yang signifikan. Sasaran utama tentu Asian Games, dengan target semi final. Sea Games gagal pun masih bisa dimaafkan, penonton masih memenuhi stadion untuk mendukung.
Asian Games semua puas karena permainan keren dan banyak harapan ini sudah bisa masuk level lebih tinggi, untuk bisa berbicara banyak bagi Piala Asia dan Piala Dunia. Mimpi yang  memiliki dasar. Namun, usai "pemecatan" Luis Milla dan diikuti dengan hancur lebur dalam AFF 2018, semua, satu demi satu permasalahan sepak bola menguar.
Kegeraman ini kembali menguat saat kemarin pulang dari gereja, tidak bisa menyeberang karena ada arak-arakan penggemar klub yang juara. Jauh dari klubnya, dan juga stadion atau pertandinganya, arogan lagi, apalagi isu juara dengan tidak semestinya, membuat makin jengkel.
Apalagi menjelang akhir kompetisi, baik Liga 1 ataupun 2, makin menguat isu dan bahkan pengakuan mengenai lucunya wasit, tiba-tiba ada pinalti. Atau jadwal yang tidak jelas, satu tim bisa dipindah-pindahkan dan partai lain harus tetap bermain. Perebutan antara klub dengan timnas juga ramai, belum lagi akhir tahun, salah satu media menyajikan pengakuan mengejutkan mengenai pengaturan hasil pertandingan.
Hampir semua media membahas ini dengan berbagai sudut pandang, fakta, pengakuan baik pemain, pelatih, dan juga pengurus. Hingga puncaknya salah satu pengurus dihukum, apakah ini menjadi tumbal atau serius?
Cukup menarik lagi, ada yang menduga jika persoalan Luis Milla mengapa tidak mau melanjutkan kontraknya karena tidak mau diatur-atur untuk memenuhi kehendak pihak-pihak tertentu. Kog nampaknya memang demikian. Susah membuktikan memang, namun paling tidak ada dua indikasi hal tersebut. Pertama, hasil U-19 era Evan Dimas begitu bagus, eh hancur lebur usai juara AFF U-19. Konon karena dipertandingkan dengan banyak tim tidak jelas demi siara televisi, namun jam tayangnya sangat larut karena demi keuntungan media, bukan pemain.
Kedua, AFF era Alfred Riedle, permainan sangat bagus, menjanjikan, sangat kecil kemungkinan tidak juara, karena tim negara lain juga pas tidak sekuat biasanya. Tidak mungkin tidak, namun tiba-tiba kalah dengan telak. Desas-desus kalau pertandingan itu dijual oleh elit federasi. Dan lagi-lagi kentut baunya luar biasa. Hanya tidak bisa diungkap, apalagi tidak ada kehendak baik untuk itu.
Kisah miris dinyatakan dua pelatih, satu timnas yunior, U-16 di mana Fahri Husaeni mengaku, kalau ada pejabat yang memaksa anaknya untuk ikut dalam timnya. Ia menolak, tidak mau karena memang tidak  bisa tim dibangun dengan model demikian.
Pelatih Bali United mengaku kalau pemain yang tidak dimasukan dalam daftar main lapor ke manajemen atau pemilik klub, diganti marah, dan lapor. Pelatih malah yang terkena tegur. Manajemen mengatakan pelatih tidak bisa menguasai  tim dan ruang ganti panas. Bayangkan bagaimana tim-yim dibangun dengan kondisi yang akan relatif sama.
Gambaran-gambaran tersebut sebenarnya adalah cerminan jelas bagaimana federasi ini dikelola. Apa saja yang patut dilihat:
Pertama, tidak profesional. Model titipan, kekuasaan yang saling ditarik oleh kepentingan di luar bola. Bisa bisnis model televisi dan siaran langsung, atau manajemen sok tahu yang mengandalkan uang serta kekuasaan. Pemain titipan karena kedekatan dengan kekuasaan, elit federasi, pejabat, atau yang memiliki koneksi, namun tidak mumpuni membuat masalah. Dan hal  yang terus menerus berulang, dan itu bukan gaya baru.