Membaca buku Satu Tuhan 1000 Tafsir, cukup menggelitik, apalagi pas membaca itu lewat kantor Kementrian Agama tingkat kota. Dalam buku itu disebutkan bahwa agama itu sejatinya ada tiga tingkatan, pertama tingkat pengetahuan, otak, hafalan, dan ranah pengertian, serta definisi, hukum dari A sampai Z.
Tahap kedua, kesadaran. Di mana mulai ada upaya tahu itu tidak cukup. Untuk apa sih hafalan itu, pun ada sikap kritis dan memilah serta memilih. Kesadaran ini membawa sikap batin, pembatinan atau internasisasi atas pengetahuan. Menjadi milik, bukan lagi kata guru, pastor, ustad, kyai, bante, namun apa pemahanku atas pengetahuan agama dan Ketuhanan.
Taraf tiga adalah taraf aplikasi di mana kita melakukan itu dengan spontan di dalam hidup sehari-hari. Tidak akan berpikir lama, apalagi perlu bertanya-tanya kepada guru spiritual misalnya. Pemahaman yang berasal dari pengetahuan yang disadari itu telah menjadi gaya hidup.
Nah pertanyaannya, apakah Kementrian Agama sudah berperan mengantar ke arah tahap aplikasi dari agama-agama yang ada di Indonesia?
Setiap kali lewat Kantor Kementrian Agama, bertahun-tahun, kog belum pernah melihat spanduk, banner ucapan selamat hari Natal, Paskah, Waisak, Nyepi, atau Tahun Baru Imlek. Apa tidak ada ide, gagasan dari para pembimas masing-masing agama. Hal yang sepele seperti ini pun, lembaga yang seharusnya terdepan di dalam mengajarkan sikap toleransi malah teledor, bagaimana yang lain.
Ada pertanyaan yang jawabannya sudah pasti kog, apakah mungkin menteri agama itu dijabat oleh Nonmuslim. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab sudah jelas kog. Lha senyatanya hanya soal gubernur Jakarta saja menjadi berlarut-larut.
Secara teori sebenarnya bisa, karena kantor kementrian agama itu bukan mengurus soal agama dalam arti dogmatis, lebih cenderung berperan sebagai fasilitator, administrator, yang berkaitan dengan kehidupan bersama sebagai pemeluk agama. Mengurus lebih ke arah kertas dan dokumentasi hidup beragama bukan masalah isi agama masing-masing.
Hal yang sama dalam silang sengketa pernyataan Grace Natalie, yang mengatakan tidak mendukung perda berdasar agama tertentu. Ini negara Pancasila, jelas peraturan itu berdasar Pancasila dan agama sudah terakomodasi dalam sila pertama. Sangat jelas di sana.
Jadi menteri agama, bisa suatu saat seperti Panglima TNI yang dilakukan bergilir setiap matra. Namun akan seperti utopis karena bangsa ini sedang dijangkiti penyakit sentisitifitas tingkat mahatinggi. Bagaimana sedikit-sedikit menista agama, sedikit-sedikit melecehkan ayat suci. Â Mengapa demikian?
Ternyata orang yang masih pada level kognisi itu akan fasih mengutip ayat suci, ritual dari A sampai Z dengan tekun, namun melakukan kejahatan juga dengan enteng, nanti mencari pembenar yang akan dikamuflasekan dengan ayat yang ia sitir, ia penggal, dan ia jadikan pembenaran atas perilaku jahatnya.
Pengetahuan ini menjadi dalih karena memang masih hanya menjadi kulit, pakaian, dan atribut semata. Sering kita saksikan dulunya "liar" dan bisa melakukan kejahatan apa saja, namun begitu tersandung kasus hukum, langsung alim, menggunakan pakaian yang menyirikan keagamaannya. Â Mereka tahu, namun tidak paham, apalagi sadar.