Apa yang disajikan dagelan 02 cukup menarik, mereka bukan hanya kampanye pilpres juga mengampanyekan diri sebagai koalisi hancur lebur. Saling tikam dan tendang, politik kepiting jelas lebih mengemuka di sana. Dua kandidat utama mereka saling menegasikan hasil, upaya, dan klaim calon wakilnya.
Selama ini Sandi menjual diri sebagai sosok yang digilai mak-mak, maka dia blsukan ke pasar, meskipun pernah juga diceramahi mereka karena membuat orang takut.Â
Toh masih cukup tenar juga dengan aksi konyolnya sebagai seorang calon pemmimpin, perilaku lucunya pun tidak pas. Eh sang pimpinan calon presidennya malah marah kepada mak-mak yang berebut buku yang ia bagikan.
Kampanye itu cara komunikasi, soal komunikasi mereka tentu sudah ahli, namun cara, trik, dan upaya untuk menarik itu yang tidak mudah. Sosok militernya memang susah dihilangkan apalagi untuk merakyat, cair, dan bersama sebagai bagian utuh. Membagikan buku dibuat trik, tuh tidak usah malu belajar dari Jokowi.
Interaksi itu penting dan utama, jangan seperti orang datang memberi makan ayam. Buku seperti bekatul atau jagung, capres itu ada di tengah bukan malah di atas, kemudian marah merasa tidak diperhatikan. Jadi ingat SBY yang beberapa kali berkenan begitu, ketika menghadapi pendengarnya.
Militer jelas hirarkhis ketat, mana ada perwira, jenderal lagi pidato ada prajurit ngantuk dan ribut sendiri, dan itu yang mereka lupa.Â
Jadinya marah merasa tidak dihargai. Kembali ini sebentuk ego militer yang susah untuk bisa dilepaskan. Apalagi usia kepala tujuh lebih begitu. Sudah menjadi karakter yang tidak akan mudah dibentuk lagi. Jelas membedakan gaya militer dan sipil, mau meniru Bung Karno? Ngakak dulu saja.
Menarik lagi, ketika satu kejadian membentak mak-mak belum usai, eh malah meledek orang Boyolali, ada dua hal yang telak, candaan yang membuat kemarahan yo sangat wajar, bagaimana tidka ketika oorang Boyolali dianggap kampungan, mosok menyebut nama-nama hotel saja tidak bisa. Itu satu.
Dua, tampang yang ndeso (terjemahan bebas sendiri), akan ditolak masuk ke hotel yang tidak bisa mereka sebut, dua kali merendahkan soal kemampuan. Selain tampang, kemampuan pun diledek, ini sih bukan lagi becanda, serius model pendekatan berinteraksi begitu.
Konon lawakan, humor modern itu bukan menjatuhkan lawan, namun berani menertawakan diri sendiri. Lihat lawakan model lawas, akan ada tokoh-tokoh bahan olok-olokan, ada almarhum Pak Bendot, Gepeng, dan banyak lagi, menjadi penderita atas para "penguasa" panggung, ya sah-sah saja namanya juga dulu. Namun kini dalam era modern berbeda. Apa artinya? Jelas model menjual diri dengan menjelek-jelekan atau merendahkan pihak lain itu kuno.
Sebenarnya hal yang biasa, normal, dan tidak masalah kalau tidak masa kampanye, masa kampanye ya bisa ke mana-mana. Makin parah di Boyolali di mana pemilu kada kemarin, pasangan koalisi mereka di beberapa TPS itu nol, padahal masih ada parpol lain, lha  ini tanpa parpol lain yang bisa memperjuangkan, jangan kaget kalau mereka mendapat nol besar dari beberapa TPS, malah bisa lebih banyak lagi.