Duka dan bencana itu kehendak Tuhan, apakah hukuman, sapaan, atau kemurkaan Tuhan? Jelas hanya Tuhan yang tahu. Satu yang jelas itu adalah peringatan bagi kita agar ingat untuk mengasihi sesama, alam, dan Tuhan. Ikut berbela sungkawa mendalam bagi korban kecelakaan pesawat yang korbannya pun belum ditemukan.
Menyaksikan berseliweran artikel di K, ataupun link yang dibagikan dalam grup percakapan, baik politis, agamis, atau teknis lain, satu yang sangat menarik untuk diulas. Tidak heran ada yang ramai-ramai menghendaki atau menyerukan boikot Lion, lha memang kalau sudah tidak naik Lion, dan naik yang lain, atau berganti armada, jika sudah saatnya meninggal juga akan bisa lolos, atau dibalik,
Dalam beberapa artikel yang saya ikuti dan cermati tayang di K, cenderung mengisahkan kondisi antara hidup dan mati. Keadaan penerbangan yang dalam kondisi kritis, ambang maut, keadaan yang tidak enak, tidak nyaman, dan ternyata masih diberi kesempatan untuk kembali dalam dunia ini dengan seperti sedia kala.
Pengalaman-pengalaman itu, apakah membawa lebih dekat pada Tuhan, lebih baik dalam ibadah dan segala apapun yang menjadi kehendak Tuhan?
Apakah dari keadaan merasa dekat dengan maut itu, kemudian makin dekat dan penuh kasih sayang pada sesama, terutama keluarga dan sekitarnya? Atau masih sama saja seperti sebelum menghadapi kejadian tersebut? Â Dalam bekerja apakah lebih baik dan bertanggung jawab, di dalam relasi kerja menjadi membaik atau malah lebih keji dan buruk?
Penghargaan pada alam ciptaan, apakah masih sama saja, membuang sampah dengan sembarangan, memukuli hewan atau dengan seenaknya mencemari sungai dan lautan tanpa merasa berdosa? Kalau sama saja, atau masih saja seenaknya membuang sampah di jalanan, sungai, laut, lha buat apa kejadian-kejadian tersebut coba?
Kalau banyak yang menjadi religius dan merasa bahwa Tuhan murka, ah mosok sih Tuhan pendendam, bolehlah mengikuti alur pikir tersebut, paling tidak agar bisa menjadi lebih baik dalam hidup. apakah mengubah dalam hidup, toh tidak yakin juga. Memangnya kalau sudah menuding bahwa penyebabnya adalah maksiat, langsung berhenti begitu saja bencananya? Gegabah juga. Ingat ada juga kehendak, prerogatif Tuhan yang tidak akan mampu kita selama sebagai ciptaan yang terbatas ini.
Patut menjadi permenungan bersama, tanpa menghakimi, apalagi analitis yang kadang malah kebablasan dan menyakitkan bagi keluarga korban, atau korban, lembaga, belum lagi cenderung sok tahu, karena bukan kemampuan teknis dan analitis yang cukup.
Pertama, kematian, kecelakaan, bencana, jelas kehendak Tuhan di sana. Manusia bisa mencegah, namun ada yang sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Contoh gempa dan tsunami kemarin. Manusia tidak bisa apa-apa. Hanya kuasa Tuhan saja. Kecelakaan memang manusia  bisa mengurangi, mengantisipasi, namun toh Tuhan yang lebih berperan. Mau naik Lion, Garuda, Etihad, Air Asia, atau kapal di sungai, semua sama saja. Tidak ada yang bisa menjamin aman dan tidak akan kecelakaan.
Penerbangan atau perjalanan bukan penyebab kematian, itu adalah jalan atau cara kematian semata. Toh tidur di rumah pun bisa mati dengan berbagai cara bukan? Memang ada yang bisa memesan atau menolak? Tidak bukan?
Kedua, beberapa pendapat yang merasa suci, moralis, dan mengaitkan dengan tudingan kesalahan dosa pihak lain. Lha memang para penuding itu jaminan pasti hidupnya lebih baik, dan sisi lain para korban pasti pendosa? Apalagi jika dikaitkan dengan politik segala. Contoh gemba tsunami Palu dengan aktifitas oreintasi seksual, pembangunan pelabuhan, lha memangnya korbannya itu siapa, dan yang menuding itu memang lebih suci dari para korban? Kisah kecelakaan pesawat dengan pembakaran bendera ormas kemarin.