Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesantren itu Identiknya dengan Seminari, Bukan Sekolah Minggu

28 Oktober 2018   14:32 Diperbarui: 28 Oktober 2018   16:20 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedua, pemahaman hal yang mendasar saja tidak paham, bagaimana bisa mengerti yang lebih dalam. Sekolah Minggu itu identiknya dengan kuliah subuh, apa iya ada dosen, ada kurikulum, ada absensi, ada ujian di sana? Tidak bukan? Itu kan nama, istilah, dan merujuk cara berkegiatan di dalam meningkatkan keimanan. Jadi ramai dan ribet lagi kalau nanti kuliah subuh juga perlu izin, jika SM juga perlu izin, ingat negara Pancasila lho.

Ketiga, bagaimana mau berbicara toleransi ketika berbicara hal-hal yang bukan dogmatis saja gagal paham begini. Ini hanya model berkegiatan bukan sebuah sistem apalagi lembaga. Bagaimana hal sepele begini saja tidak tahu, dan tidak mau bertanya, memperlihatkan kepicikan dan arogansi sekaligus sok tahu, tidak layak menjadi seorang pemimpin level nasional jika demikian.

Toleransi itu harus tahu banyak dan mengerti banyak untuk menemukan persamaan bukan memperbesar perbedaan. Di sinilah kualitas kepemimpinan itu diperoleh.

Keempat, memperlihatkan kegagalan dewan di dalam kinerja mereka. Pantas selama ini hanya menjadi tukang stempel semata. Jarang-jarang ada inisiatif dari dewan, sekalinya malah fatal seperti ini.

Kelima, jika memang mereka memiliki staf ahli dan sengaja untuk melakukan ini demi mroyek, sungguh terlalu. Membebani negara demi sesuatu yang tidak penting. Ini bukan hal yang mendesak kog, tidak ada UU-nya pun tidak masalah, karena toh bisa berjalan dengan baik selama ini.

Harapannya dengan pelajaran berharga ini, tidak nanti timbul persoalan sejenis, seperti pertapaan, hidup membiara yang ada dalam Gereja Katolik dan agama  Buddha juga "terusik" karena tidak paham yang esensial.

Negara ini masih banyak hal yang lebih mendesak, jauh lebih  urgen menjadikan agama sebagai jalan hidup bukan semata ritual dan hapalan. Bagaimana rumah ibadah dan kegiatan keagamaan penuh, namun penipuan dan korupsi juga masih merajalela. Orang beragama harusnya malu bukan malah menggunakan agama demi mencari uang.

Peraturan sudah berlimpah, konon mencapai 43.000, malah ditambah bukan tambah baik, malah tambah ribet. Kesadaran hidup bersama itu perlu dikembangkan, sehingga tidak saling curiga karena mau mengenal satu sama lain.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun