RUU Pesantren dan Pendidikan menjadi polemik yang cukup hangat juga. Sangat wajar karena menyangkut banyak agama, namun para penyusun tampak tidak tahu apa-apa atas agama resmi di Indonesia. Ini ironis, apa yang ditampilkan DPR ini memberikan makin jelas gambaran kualitas sangat rendah dewan.Â
Pantas saja selama ini hanya jadi tukang stempel, namun seolah paling jagoan itu. Menyelesaikan rancangan dari pemerintah  saja belepotan, kali ini merancang dan menjadi sebuah prestasi inisiatif namun lagi-lagi ya gitu deh.
Artikel ini tidak akan mengupas mengenai isi atau apa yang menjadi polemik dalam sebagian isi dari RUU itu, karena sudah banyak yang mengulasnya. Namun hendak melihat bagaimana kualitas dewan yang kelihatan sok-sokan, namun memang kualitasnya sangat rendah itu.
Seminari itu baru identik dengan pesantren, dan itu berbeda  dengan Sekolah Minggu. Berbeda lagi dengan biara dan pertapaan, jangan-jangan nanti kalau DPR tahu ada model demikian diupayakan adanya UU dan tambah ribet dan repot lagi.
Seminari yang identik dengan pesantren adalah  kualifikasi seminari kecil yang sudah sangat jarang dan seminari menengah. Jika seminari tinggi atau skolastikat bagi hidup membiara, relatif berbeda. Jenjang ini akan identik meskipun tidak sama persis dengan IAIN, STAIN, atau UIN. Susah dipahami karena tidak mau tahu dan tidak mau melihat karena ketakutan imannya luntur, ini lucu juga sebenarnya.
Tidak kenal maka tidak sayang menemukan makna hakiki di sini. Dulu, era 70-an ada menteri agama yang memberikan saran untuk menjadi pastor, imam, rama, atau pater tidak perlu lama-lama, minimal delapan hingga belasan tahun memang, kursus tiga bulan saja selesai. Padahal tidak sesederhana itu pendidikan calon imam. Jadi ketika ada salah satu metode pembelajaran yang bernama sekolah minggu dianggap sama dengan sistem pembelajaran, ya bisa dipahami.
Membedakan imam Katolik dengan Kristen Protestan saja banyak yang tidak paham, beberapa waktu lalu, protokoler dalam sebuah acara provinsi menjadi bahan tertawaan karena dalam daftar undangan ada penyebutan Bapak Uskup, Mgr.....beserta istri.... Ini sederhana, mosok mengetahui hidup selibat pemuka agama saja mengurangi kadar iman seseorang?
Membedakan misa dan kebaktian juga sering kacau balau, kembali mosok sih tahu nama, kegiatan, dan kebiasaan ibadah agama lain saja mereduksi iman seseorang. Ini biasa saja kalau hidup di negara agama, atau negara yang memang tidak mengakui agama lain. dasar negara jelas kog ada agama-agama dengan hak yang sama, mosok hal sepele begitu saja bisa tidak dipahami dengan baik.
Sering terjadi kerusuhan dan keriuhrendahan dalam hidup bersama dan beragama itu hanya karena sikap tidak mau tahu agama lain. kembali apa iya tahu nama-nama kegiatan keagamaan dan pemimpin agama-agama itu mengurangi kadar keimanan? Ini masih negara Pancasila bukan? Jadi geli kalau ingat kisah ini, beberapa kali saya pakai dalam ilustrasi artikel, ketika sebuah kota mengadakan kirab salib dalam memperingati kebangkitan Isa Almasih, lihat bahasa ini yang saya pakai dalam konteks kebersamaan, eh ada sebuah pengasuh pondok yang ketakutan jika iman santrinya goyah. Lha memangnya bagaimana mendidiknya, jika melihat orang lewat saja  bisa goyah imannya?
Apa yang ditampilkan dewan ini patut dicermati dalam beberapa hal;
Pertama, mereka menghasilkan produk sangat buruk karena terburu-buru, mereka memiliki staf ahli, memili rekan kerja dari kementrian dan dirjend yang bisa dijadikan rujukan dan berdiskusi. Jika itu dilakukan, tentu tidak akan menimbulkan polemik yang tidak perlu seperti ini.