Ketika RS mengaku dan mengadakan klarifikasi, ungkapan khas agama dan lagi-lagi bahasa Arab menjadi tanya yang lebih bernuansa politis, jika berkaitan dengan iklim berpolitik saat ini. respon yang cukup berbeda dengan sikap Tompi yang tidak menuduh siapa-siapa, baik RS ataupun  para politikus yang mengatakan ia dengan luar biasa, padahal jelas ia yang benar.
Mengapa mengaitkan kisah RS dengan nama pahlawan perempuan yang gagah perkasa itu? Padahal jika memang benar-benar dianiaya, tanpa menyenggol Cut Nyak Dien pun orang sudah trenyuh, simpati mengalir kog, malah justru makin memperlihatkan ada apa-apanya di sana. Lihat sikap Tompi yang lepas kepentingan, ia bisa saja sebenarnya mencatut nama ahli bedah siapa begitu, toh tidak dilakukan karena ia yakin akan kebenarannya.
Hanum juga terlihat lemah ketika menggunakan istilah-itilah yang seolah-olah agamis dalam kata bahasa Arab. Mengapa? Mau menarik simpati dari kalangan tertentu, memberikan gambaran soal pelaku (awal ketika masih diyakini sebagai penganiaayaan) adalah biadab, memusuhi agama tertentu, berhadapan dengan RS dan Hanum dan kawan-kawan sebagai korban padahal agama tertentu. Ada indikasi membenturkan agama, dan lagi-lagi sangat lemah.
Kebenaran pun sudah terungkap dan Tompi benar, namun tidak ada penyesalan dari Hanum dan kawan-kawan, malah kecenderungan menuding bahwa RS sebagai pelaku kebohongan dan mereka korban. Aneh bukan? Harusnya yang menuding demikian adalah Tompi, namun mengapa malah Hanum yang sama sekali tidak menerima tudingan, hujatan, dan tuduhan yang tidak berdasar itu?
Beberapa hal yang membedakan dua dokter yang satu berkepentingan politis dan pihak yang lain benar-benar profesional sebagai seorang dokter, menjunjung etika profesi, dan memberikan bukti kebenaran yang satu unsur obeyktif lebih dominan, satunya lebih bersifat kepentingan pribadi dan kelompok.
Berkaitan dengan pilpres dan pileg, di mana Hanum berdiri, memilih, dan menyatakan dukungan, apa yang bisa dipelajari?
Pola habis manis sepah dibuang jauh lebih dominan dalam kelompok Hanum dan kawan-kawan, siapakah mereka? Jelas dan tidak perlu dipaparkan lagi bukan? Model sangat kejam perilaku demikian. Bagaimana jika memimpin negara politikus macam itu? Memanipulasi kebenaran dan kepalsuan dengan ringan, susah memberikan kepercayaan kepada mereka.
Pola enak adalah teman, nyesak adalah musuh, apa iya model demikian mau dipercaya menjadi pemimpin. Masih juga percaya pada orang-orang yang tega pada orang yang pernah dianggap teman, sahabat, dan seperjuangan namun dicampakan begitu saja ketika merugikan? Mana ada yang pernah menjenguk RS, pembelaan pada Hanum pun sepi, padahal tuntutan untuk diajukan ke dewan etik persatuannya profesinya telah berjalan.
Fokus koalisi ini hanya menebar kebohongan dan cara bertahan jika ketahuan, kemudian mengais-kais lagi kebohongan yang baru agar eksis. Soal rekan seperjuangan yang jauth karena menciptakan kebohongan sebelumnya, tidak menjadi perhatian lagi. Â Perilaku keji dan kejam sekaligus. Apa iya pemerintahan mau dibangun dengan penuh kebohongan dan kepalsuan. Penderitaan yang dipakai untuk menaikan pamor segelintir elit lagi.
Menglaim dan menyama-nyamakan diri dengan orang yang lebih baik, besar, tenar, jelas mempertontonkan diri sebagai pelaku minder akut. Ada Sukarno, Hatta, Cut Nyak Dien, namun itu hanya bungkus, baju, pakaian, bukan pribadi dan kualitas pribadi.
Apa iya pemimpin nasional masih usia kanak-kanak yang sedang mencari-cari jati diri begitu? Jelas tidak perlu dipilih karena memang mereka menampilkan diri sebagai pribadi yang tidak pantas untuk dipilih.