Mau merebut panggung, mereduksi suara pasangan lain, namun tidak dengan kerja keras, suka atau tidak, malah jelas mengurangi poin sendiri. Mengapa demikian? Fokusnya pada  lawan, bukan pada diri dan inti koalisi sendiri. Asyik melihat pergerakan lawan, eh malah terperosok masuk jurang.
Menuduh itu rekayasa pihak rival, penyyelundupan agen lawan, ah masak, selama ini ke  mana saja, benaran, baru kali  ini mempermalukan kebersamaan kalian? Jangan menuduh pihak lawan ketika mendapatkan masalah dari orang yang paling getol menjadi pembela dong.
Ke mana PAN sebagai partai politik coba. Hanya ada Amien dan sang puteri di dalam kisah ini. ketika ada serangan balik karena ketahuan bohong pun mereka sebagai partai diam seribu bahasa. Bisa-bisa mereka sedang menggerutu, dasar jenderal kardus, eh kardus itu mereka terima ya. Mereka sedang pada posisi mencari aman masing-masing demi pileg bukan pilpres.
PKS apa khabar? Hanya Fahri yang pecatan PKS dan Mardani yang masuk dewan sebagai anggota pengganti saja riuh rendah di sana. Sebagai partai diam seribu bahasa. Imbas yang bisa menambah tsunami bagi mereka di pileg mendatang. Situasi yang sangat tidak munguntungkan.
Demokrat pun setali tiga uang, hanya beberapa elit yang sejak awal memang memiliki reputasi asal berbeda dengan pemerintah. Yang awalnya bersimpati pun berbalik badan. Kini mereka akan ramai-ramai menggunakan tema ini untuk membuat mereka naik daun demi pileg bukan pilpres.
Dari Gerindra pun hanya beberapa elit yang sejak dulu kala memang tidak tahu malu di dalam mengelola isu. Benar salah hantam dulu, urusan belakangan. Â Apa yang dilakukan secara ugal-ugalan ini sebenarnya malah menggerogoti kepercayaan publik yang dalam beberapa isu mulai tertarik.
Jadi ingat, dulu ketika Rm Mangunwidjaya meninggal, sedang hidup di asrama. Seorang rekan yang biasa becanda mengabarkan kepada kami berita itu. Semua tidak percaya karena reputasi teman yang memang usil ini. Padahal dia melanggar banyak peraturan, ketika itu jam belajar yang harus diam, ia berlari keliling dan berseru kalau ada berita duka.
Tetap teman-teman tidak yakin, sebelum pengumuman lewat jaringan audio, memberitakan warta duka itu, baru rekan-rekan percaya.  Hal sepele, kebiasaan becanda, dan akhirnya tidak dipercaya.
Susah mengelola kepalsuan demi kepalsuan untuk bisa menaikan elektabilitas. Jelas bisa namun tentu juga elektabilitas nya pun palsu. Tidak heran ketika membuat polling lelucon saja, ketika yang didukung kalah, langsung dihapus. Padahal bisa untuk membangun koalisi yang lebih baik dengan hasil itu, tidak mau melihat realitas.
Kepalsuan sebagai basis pemikiran, maka hasilnya pun yang palsu dianggap kebenaran, dan hasil kerja keras pihak lain dinilai sebagai palsu. Menyedihkan jika demikian mau jadi pemimpin. Bagaimana mereka melihat evaluasi yang ada secara obyektif jika demikian, paling-paling model abs gaya lama akan menjadi trend kembali.
Data kemajuan, perubahan, fakta pembangunan yang signifikan pun akan dinilai palsu, karena memang dalam benaknya adalah yang benar itu mereka sendiri. Ilusi, fiksi, dan bahkan jelas-jelas  kebohongan saja dianggap kebenaran, ini karena saking lamanya hidup dalam kepalsuan. Mulai bingung sendiri mana yang benar atau ini rekayasa sendiri.