Apa-apa yang palsu jadi ingat kisah 2014, ketika sudah melakukan sujud syukur atas kemenangan. Di tempat lain juga mengadakan ibadat syukur dalam kepercayaan dan keyakinan agama yang berbeda. Mereka  melakukan ungkapan syukur itu ternyata berdasar dari data palsu, lihat lagi-lagi palsu.
Deretan panjang kepalsuan yang tidak akan bisa lagi disangkal, kecuali dengan lagi dan lagi kepalsuan atau malah fitnah atas pihak# lain. Jika melongok ke belakang, kita akan ingat bagaimana adanya media lagi-lagi palsu yang bernama Saracen, di sana ada "pabrik" kepalsuan yang dirancang untuk menjadi viral dan hendak memengaruhi persepsi publik. Syukur bahwa hal ini telah ditangani dengan baik dan menurut hukum yang semestinya.
Namun di balik itu, siapa yang membela bak babi buta dan padahal rekam jejak mereka ada kaitan dengan Saracen? Toh mereka yang pernah bersama-sama itu langsung balik badan, mana ada mereka yang mau peduli dan ingat lagi. Pun dengan Obor mereka mengalami yang sama. Jonru, tidak jauh berbeda, mereka dipuja kala mengggaungkan kepalsuan, namun begitu masuk peradilan, merana sorangan.
Jelas terbaru adalah apa yang terjadi pada Ratna Sarumpaet, Â bagaimana mereka mengusung kepalsuan sebagai kebanggaan. Kebohongan sebagai cara meningkatkan citra untuk mendapatkan simpati. Kursi diperoleh dengan cara yang penuh kekotoran yang berbanding terbalik dengan ajaran agama yang menjadi kebanggaan bangsa ini.
Kebersamaan di dalam membela kebohongan. Kemudian mereka juga beramai-ramai sok religius dan meminta maaf secara ramai-ramai sekaligus melontarkan lagi tuduhan dan bahkan fitnah pada kubu rival. Â
Politikus level atas dan malang melintang di dalam kegagalan demi kegagalan seperti Amien Rais, Zon, Fahri, mereka juga ahli di dalam memanipulasi dan membuat kepalsuan demi kepalsuan. Di sinilah sikap kritis itu menjadi penting dan sikap bijaksana sehingga bukan malah memberikan mereka itu oksigen baru yang mereka perlukan.
Jangan anggap enteng namun jangan pula beri porsi berlebihan, agar mereka juga malah kacau dengan rancangan mereka sendiri. Pengubahan persepsi bisa diatasi dengan militansi secara masif dan politis lewat budaya dan tabiat bangsa yang kita miliki. Kekerabatan dan model tokoh setempat menjadi penting dan pembeda.
Patut disikapi dengan bijak, bahwa hal ini merupakan  rencana yang mendalam dan akan terus berulang karena memang disengaja untuk meningkatkan citra mereka sendiri, soal baik atau buruk bukan menjadi pertimbangan.
Jangan-jangan hingga hari ini tidak ada program, mereka tidak punya program yang realistis, mereka malah membuat program palsu lagi? Apa iya, produk palsu bisa jadi orisinal? Jelas tidak.
Jika buku itu bajakan, pembaca dan  konsumen tentu sangat dirugikan karena mata pedih melihat dan membaca cetakan yang mblobor. Mata jadi perih dan pedih. Pun jika kita menyaksikan pemimpin palsu. Hati kita yang pedih dan perih. Apa yang mereka omongkan apa iya begitu?  Jangan-jangan malah tidak bisa diduga arahnya ke mana nantinya.
Pemimpin mblobor, apa yang mau diharapkan coba? Mereka  bisa mengatakan dengan sangat biasa baik hal yang esensial adalah kebohongan, dusta, palsu sebagai  hal yang benar, dan yang benar dicap salah, apa patut dengan jiwa Pancasila dan agama?