Menjelang 30 September, sering kita riuh rendah  dengan pemutaran film G-30 S/PKI, yang selama 10 tahun diam seribu bahasa itu. Kali  ini pun begitu, persoalan siapa yang melarang pemutaran dan faktanya yang seoah diputarbalikan. Sandera menyandera persoalan ini tidak akan usai, ketika orang tidak mau menyelesaikannya dengan baik dan dewasa.
Sikap saling curiga, merasa menjadi korban dan pihak lain selaku pelaku, tidak akan menyelesaikan masalah. Sikap menang-kalah akan menimbulkan persoalan. Perlu kedewasaan untuk sampai sikap memang-menang, saling memberikan pengampunan, karena toh ada juga sisian yang sama, antara pelaku dan korban. Jika masih bersikukuh kelompoknya korban dan pihak lain sebagai pelaku tidak akan pernah selesai.
Kisah kelam lebih dari setengah abad lalu masih bisa menjadi sandera politis kini, karena penyelesaian lalu yang menggunakan pendekatan refresif, militeristik, dan abai akan HAM. Orang bisa dibunuh dengan dalih OT tanpa peradilan, dan kadang hanya kata orang. Dan itu luka bangsa yang masih jauh nampaknya untuk selesai.
Kini ketika era berganti, zaman berubah, dan penghargaan atas kehidupan mulai menguat, ada keadaan yang sejatinya identik. Penyelesaian tidak sederhana, apalagi ketika kepentingan politik lebih lebih dominan, bukan berbicara kepentingan bangsa dan negara. Persoalan kepentingan sesaat semata, pemilih dalam pilpres 2019.
Pola pendekatan HTI yang demikian masif, untuk menegakkan khilafah, seluruh dunia dalam satu pemerintahan, ternyata telah disikapi dengan tegas oleh negara-negara lain. Jadi bukan Indonesia yang pertama. Indonesia bahkan sempat menjadi surga sekian lamanya.
Ketika Arab sebagai pusat  Islam saja melarang, apa coba urgensinya Indonesia tetap mempertahannya? Ke mana arah fokus keagamaannya, ketika HT cenderung lebih politik daripada agamanya. Pusat keagamaan tentu Arab, namun di sana saja HT dilarang. Tidak ada lagi kekuatan untuk bisa mempertahankan keberadaan HT.
Menurut www.bbc.com, Indonesia merupakan negara ke 21 yang melarang keberadaan HTI dengan segala pertimbangannya. Di pecahan Rusia, Pakistan, Turki, Mesir, organisasi ini telah dilarang. Beberapa negara yang masih membiarkan keberadaan mereka, patut diduga, bahwa mereka merasa bahwa organisasi yang masih cukup kecil dan dengan mudah mampu mereka atasi.
HTI yang hingga kini masih berupaya dalam peradilan, cukup aneh dan lucu, ketika mereka sendiri tidak mengakui keberadaan pemerintahan, dengan segala perlengkapannya tentu, salah satunya, jelas peradilan di Indonesia.
Mereka hendak membangun pemerintahan di seluruh dunia, sebagai satu kekuasaan, dan artinya, Â Indonesia dengan NKRI-nya bukan bagian utuh yang mereka idamkan. Mereka juga tidak percaya dengan keberadaan demokrasi dengan segala perangkat hukumnya. Namun aneh ketika mereka berbicara atas nama kebebasan berpendapat dan berkumpul.
Susahnya untuk membubarkan mereka kali ini, jelas tidak mungkin dengan model pendekataan Orba pada PKI, dan juga sekian lama mereka telah nyaman. Bisa dibayangkan bukan reaksi mereka jika dilakukan tindakan militeristik. Padahal di Mesir para petinggi mereka di hukum mati. Baru dibubarkan saja di sini, malah pemerintah yang membubarkan yang dihujat.
Kepentingan sesaat dan sesat beberapa partai politik yang suka cita mendukung upaya HTI untuk kembali eksis dengan upaya hukum mereka. Dukungan dalam bentuk pernyataan dan justru menyatakan pemerintah sebagai pelaku yang tidak adil dan sejenisnya memperlihatkan perilaku mereka hanya upaya mendeskreditkan pemerintah dan memberikan nafas tambahan bagi HTI untuk mendapatkan angin cukup bagi mereka.