Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politikus Ngambeg, DKI-2, dan "Dua Bata Jelek"

24 September 2018   19:01 Diperbarui: 24 September 2018   19:23 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam salah satu kisah inspirasi oleh Ajahn Brahm, ia mengisahkan bagaimana ketika biaranya yang miskin itu harus dibangun. Ia sebagai seolah ahli fisika, teori tentunya, perlu kerja keras untuk bisa membangun tembok. Satu sisi diketok sisi lain terungkit, kedua sisi rata, eh miring ke luar, dan seterusnya. Beberapa bulan seribuan bata telah ia tata dan di dapati sebuah dinding yang baguslah dalam arti seorang amatir. Namun ia begitu kecewa dan merana karena ada dua bata jelek yang merusak karya agung dalam dindingnya itu.

Ia selalu malu ketika ada kunjungan ke biara, jika ada yang mau melewati hasil kerja kerasnya. Selalu ia berdalih dan mencarikan jalan lain, agar apa yang ia anggap kegagalan fatal itu tidak ada yang tahu dan bisa mengagumi yang lain saja. Berlangsung relatif lama keadaan itu. Semua konsentrasi pada dua bata jeleknya.

Suatu hari ada ahli bangunan yang mendapatkan kesempatan dan memuji dua bata yang dianggap jelek itu. Si ahli berkata dengan penuh kekaguman, dan malah si tukang amatir itu makin kecut dan melihat hal itu sebagai  ledekan. "Tidak, ini serius, selain dua bata jelek itu, saya juga melihat 998 bata lain yang keren."

Cara  pandang dan fokus yang berbeda. Berkali-kali kisah ini dijadikan ilustrasi dalam banyak cermahnya. Suatu hari, ahli bangunan lain berkata," Kami juga sering gagal dalam beberapa hal kecil, namun kami malah sering mendapatkan beberapa keuntungan dari keadaan itu. Bisa mendapatkan upah lebih padahal awalnya kesalahan dan jelek."

Kemarin, ketika ada gawe besar rangkaian pemilu dan pilpres, ada seorang tokoh besar yang ngambeg. Merasa ada ketidakadilan, dan penyelenggara telah menciderai azas kebersamaan yang adil dan setara.  Hal ini cukup menarik, dari 16 partai peserta pemilu, nampaknya mengutus perwakilannya semua, namun mengapa hanya satu yang melihat itu sebagai cacat cela dan ngambeg, kabur dari acara?

Seluruh rangkaian acara yang baik, adanya keakraban di antara dua kandidat yang akan "bertanding" dengan saling bergandengan tangan, keunikan pakaian yang dikenakan, mengapa ada satu, ingat hanya satu yang ngambeg. Yang lain baik-baik saja, dan merasa itu  "bukan masalah" yang besar dan berlebihan. Siapa yang bermasalah jika demikian? Tidak perlu dijawab bukan, toh semua sudah paham dan tahu kog.

Kisah dua bata jelek tadi, ada orang biasa fokus pada dua hal buruk, dan itu menenggelamkan 998 hal baik lainnya. apa iya seburuk itu sehingga hanya 0,2% bisa menghabiskan energi yang demikian besar untuk merana, nelangsa, padahal ada demikian banyak hal baik yang bisa dijadikan rujukan dan pemikiran baik.

Politik Identitas.

Entah penyakit ini dari mana, ketika begitu orang lebih gegap gempita menonjolkan perbedaan dari pada persamaan. Batu bata 998 itu adalah Nusantara yang besar, majemuk, dan kaya raya ini, namun dirusak oleh dua bata jelek yang bisa dikesampingkan, jika orang bisa berpikir soal bangsa dan negara. Namun apa daya, orang lebih suka kursi dan kekuasaan dengan segala cara yang sering tidak baik.

Politik identitas membawa orang pada perselisihan, permusuhan, dan sikap saling intai dan curiga. Mengapa? Karena adanya kepentingan memenangan kontestasi tanpa mau kerja keras dan menunjukkan prestasi dan hasil yang menjanjikan.  Politik identitas yang memisahkan, padahal kemanusiaan sejatinya menyatukan dan menemukan titik temu, bukan memperbesar perbedaan dan menempatkan hal berbeda sebagai musuh.

Pilkada DKI sebagai bukti sahih bagaimana orang partai politik hanya fokus  pada dua bata jelek, tanpa mau tahu dinding yang lainnya. Orang yang  hanya mengejar kursi dan kekuasaan, melalaikan dampak pembangunan dan keberadaan provinsi sebagai ibukota negara yang begitu banyak persoalan yang perlu dibenahi dengan sepenuh daya dan upaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun