Beberapa waktu lalu, salah satu kandidat presiden, Prabowo Subianto geli karena ada yang menuduhnya mendukung gerakan khilafah. Jelas sebagai purnawirawan militer, Â menjunjung tinggi Pancasila dan UUD '45 itu jelas akan selalu menjadi jiwanya. Apa iya, demikian dengan orang terdekatnya, para pengusungnya yang mati-matian, fanatis itu sama dengan jiwa Prabowo?
Pengusung dan pendukung utama selama ini sering bertautan erat dengan salah satu organisasi yang dibubarkan Jokowi. Selalu akan dibantah, ditentang, dan dinyatakan tidak untuk jenis pemerintahan yang baru. Tetapi apa yang mereka nyatakan, mereka ungkapkan tentang organisasi massa yang mau dibekukan pemerintah memberikan kecenderungan angin segar, jika terlalu kasar untuk mengatakan mereka mendukung. Tidak hanya HTI soal terorisme pun lebih  cenderung negatif menuduh polisi yang bermainlah, atau nada lain namun dengan arah memberikan oksigen bagi nafas yang hampir habis karena kinerja kepolisian.
Melihat sikapnya yang masih juga takut pada pendukung dengan adanya kegalauan dalam memih ketua timses, dan juga wagub DKI memberikan gambaran akan kesulitan mengendalikan kader, lingkaran terdekat, dan perilaku partai pendukung yang selama ini toh sangat lekat dengan pilihan mereka bukan Pancasila dan UUD '45. Sangat tidak yakin dengan keberanian yang menglaim diri sebagai  macan asia itu.
HTI dan Pembiaran
Apa yang dilakukan HTI sehingga demikian sulit dibubarkan hingga berlama-lama dengan segala trik dan intriknya, itu karena pembiaran. Sejak 2009, Muhamadiyah dan NU sebagai ormas terbesar di Indonesia telah membuat rekomendasi untuk kasus ini, namun hingga 2017 baru ada aksi, apakah ini tiba-tiba karena Jokowi antiagama  tertentu?  Jelas bukan, namun karena memang dulu tidak bersikap dengan semestinya. Jika dulu sudah dibubarkan, mungkin tidak akan serumit kali ini, ketika pohon sudah sangat besar tentu lebih sulit untuk menebangnya bukan?
Akar dan percabangan gerakan ini sudah ke mana-mana, dalam buku Ilusi Negara Islam jelas sudah diberikan rekomendasi untuk itu. Termasuk nama-nama pun dinyatakan tanpa inisial. Sudah jelas dan gamblang untuk menjadi kewajiban pemerintah menangani ini dengan serius. Toh tidak dinyatakan dan diselesaikan. Falsafah seribu teman kurang dan satu musuh berlebihan ternyata termasuk dalam menyikapi hal ini.
Poin Bagus bagi Jokowi
Suka atu tidak, rela atau tidak, pemerintah yang tidak takut dengan popularitas ya pemerintahan kali ini. Sangat berat  untuk merobohkan salah satu gerakan yang sudah meruyak ke mana-mana. Reaksi yang sangat biasa jelas akan balik menuding yang mengusik mereka sebagai si jahat.  Dan itu langsung disetujui pihak-pihak yang memang terusik karena kebiasaan busuk mereka terganggu. Keberanian tidak populer memang sangat menguntungkan secara instan bagi pihak yang sejak awal tidak siap kalah itu. Mereka tahu bahwa mereka bisa saling mendompleng dan saling memanfaatkan. Dan negara yang menjadi sandera atas perilaku ugal-ugalan mereka.
Keberanian itu Bukan Soal Fisik
Salah satu kampanye yang dipakai kelompok miskin prestasi adalah soal fisik, pilih yang gagah, meyakinkan yang ganteng, dan seterusnya. Apa iya? Nyatanya yang gagah dulu membubarkan HTI pun tidak berani, malah se kerempeng yang berani dengan tegas untuk itu. Mengapa berani? Karena memang mau bebenah bagi negeri ini, bukan demi kursi dan kekuasaan semata-mata. Risikonya adalah memang stabilitas politik tidak bisa terjadi yang berimbas pada perdagangan dan bisnis. Orang atau investor tetap saja khawatir karena peta politik yang tidak ada.
Mengapa Dua Periode Penting?