Pemakaman terutama di pedesaan, mengandung potensi masalah di kemudian hari. Mengapa demikian? Di pedesaan, orang cenderung bukan birokratis, administratif, dan tertib dalam banyak hal. Orang desa memiliki kelenturan dan keluwesan yang tidak jarang dimanfaatkan orang-orang tertentu yang berpikir praktis, pragmatis, dan sederhana. Paling tidak ada dua kisah yang patut dicermati dan dijadikan pelajaran bersama. Pengalaman yang benar-benar terjadi.
Kisah dan kasus berikut tidak akan terjadi di perkotaan yang sudah jelas administrasi dan birokrasinya. Jadi memang bukan segmen kota, apalagi pemakaman bintang lima, bukan ulasan ke sana. Persoalan pemakaman di tempat yang belum menggunakan administrasi untuk menggunakan tanah makam.
Tanah tetap, jumlah penduduk makin banyak, pun kematian tidak bisa dihindarkan. Aturan desa mulai mengemukan larangan membuat kijing, agar tidak mempersulit ketika mau menggali saat makam sudah penuh. Sangat bisa dipahami, karena toh tidak ada biaya apapun. Semua masih tanah wakaf, tanah pemberian sesepuh zaman dulu.
Kisah pertama, seseorang yang cukup terpandang membawa kerabat istrinya, yang berasal dan berada di luar kota. Jelas pertimbangannya di sana ada biaya dan administrasi yang cukup mahal. Dibawalah banyak kerabat yang meninggal itu. Untung bahwa keponakannya cukup berani dan menegor, lha kalau begini terus, bagaimana nanti kalau orang sini meninggal. Â Fakta ini cenderung banyak juga. Dan sangat mungkin akan terus bertambah dengan berbagai keadaan yang melingkupinya.
Kisah kedua, masih satu desa, namun memiliki seolah tradisi, bahwa keluarga A itu pemakaman di makam Z, keluarga C di pemakaman D, dan itu sangat wajar, bisa jauh dari kampung dan rumah tinggalnya. Zaman berubah, pernikahan dan perpindahan sangat biasa. Nah mulai orang berpikir praktis, pemakaman yang dekat bukan karena kekerabatan atau tempat tertentu. Komentar dan protes sejenis kisah pertama juga hadir, kalau semua orang ke sini, yang "jatahnya" sini ya repot.
Potensi lebih ribet soal perumahan dan orang kampung. Jarang perumahan menyediakan makam, dan itu bukan persoalan sederhana lho. Memang masih banyak yang menerima begitu saja, toh warga sini, hidup di sini, tetapi bahwa nantinya, ada bahkan sudah ada yang menolak jenazah karena mulai orang sensi dan mengedepankan liyan, bukan lagi  sesama dan kemanusiaan. Hal ini ribet juga.
Apa yang bisa dilakukan dengan itu semua? Jika berkaitan dengan perumahan, memang harus ada pembicaraan serius dan akhirnya ada peraturan kecamatan atau minimal peraturan desa yang mengatur itu dan ada sosialisasi, jadi ketika ada jenazah tidak terjadi kebingungan. Kasihan sudah kehilangan eh masih bingung. Bagi mantan manusia itu kasihan yang harusnya beristirahat dengan damai malah tidak damai karena adanya penolakan.
Soal agama juga mulai menggejala. Menolak dengan alasan agama ketika jenazah masih hidup. Lha memang orang mati beragama? Memang tidak akan demikian sederhana ketika sudah berhadapan dengan pokoke. Dan ini bisa sangat serius.
Jelas sesuai dengan KTP dan tempat tinggal selama hidup atau sekian lama hidup di sana, kemudian ada pembicaraan dan sosialisasi bahwa siapa saja yang boleh di makamkan di desa atau makam perkampungan di sana. Misalnya orang yang pernah hidup atau sekian tahu pernah tinggal di sana jangan sampai orang yang hidupnya sama sekali tidak pernah di sana, kemudian ada kerabat pasangannya bisa membawa jenazah kerabatnya. Ini contoh bisa lebih spesifik sesuai dengan pembicaraan warga tentunya.
Pembicaraan dan sosialisasi ini hanya untuk berjaga-jaga agar jangan sampai mobil jenazah sudah datang, eh warga ada yang menolak, atau warga kesulitan pemakaman karena adanya banyak orang yang sama sekali tidak pernah dikenal masyarakat setempat bersemayam di sana. Ini mungkin belum banyak terjadi, namun suatu saat bisa saja menjadi masalah pelik.
Sebenarnya bukan permasalahan besar jika orang mau hidup saling bertenggang rasa, saling berpikir jika itu padaku, apa yang aku kehendaki ketika orang lain berbuat, berempati, tentu hidup menjadi lebih mudah dan tidak ribet. Sayangnya orang lebih suka ribet dan seneng yang riuh rendah daripada mengalah untuk menang.