Eit jangan ngamuk dulu, soalnya pernah model begini, saya dilabrak dan dikatakan goblog tanpa mengetahui esensi tulisan.  Ide tulisan ini berasal dari sebuah kiriman di grup percakapan yang mengatakan kalau pintu surga dibukakan bagi pemilih Bapak Prabowo sebagai presiden. Apakah ini benar demikian, atau sebentuk satire, jelas tidak sesederhana itu  tanpa melihat rekam jejak sebuah status seseorang. Jadi isinya bukan membahasa itu.
Beberapa waktu lalu, ketika Lombok diguncang gembap hingga berkali ulang, ada yang dengan enteng mengatakan kalau Tuhan sedang murka, Tuhan menghukum umat-Nya, dan  sejenisnya.  Apakah demikian? inilah Inti bahasan itu.
Seorang teolog Gereja Katolik, pemikir bagi teologi Kekatolikan, Agustinus memiliki pengalaman rohani yang cukup membuatnya menepikan pikiran dan lebih mengandalkan olah rasa. Suatu hari ketika ia memikirkan mengenai Tuhan, ia berjalan-jalan ke pantai. Di sana ada anak kecil yang sedang  membuat  sumur mainan di pantai, dan memindahkan air laut ke dalam galiannya.Â
Agustinus bertanya, sedang apa anak itu? Si anak menjawab memindahkan air laut ke sumurnya. Jawaban yang membuat Agustinus sadar, bahwa otaknya yang sekecil itu jelas tidak akan mempu menampung misteri Ilahi yang tak terbatas itu. Galian anak adalah gambaran otak manusiawi, dan lautan dengan air itu adalah simbol kebesaran Tuhan.
Ketika bencana datang, apapun itu, gempa, gunung meletus, banjir bandang, tanah longsor, atau apapun, orang dengan cepat mengatakan Tuhan sedang berkehendak, kehendak Tuhan untuk menguji umat-Nya, dan sejenis itu.  Apakah ada screening, pengayakan, dan pemilahan mana yang taat, mana yang jahat sebelum bencana? Ataukah yang meninggal tersapu lahar misalnya mesti penjahat dan yang selamat itu sangat saleh di dalam hidupnya?  Tidak ada. Selamat atau kena bencana sama saja, mau baik atau buruk tidak dipilih untuk menjadi korban atau tidak.
Apakah  yang mengatakan itu salah atau benar? Tidak bisa sesederhana itu juga menilai sebagai benar atau salah. Satu yang pasti bahwa pemahaman kita masing-masing itu sangat erat dengan kemampuan kita, latar belakang kita, pengetahuan yang melingkupi kita, dan itu terbatas.
Contoh, bagaimana orang bisa menilai sebuah gelas dalam banyak makna dan arti. Kaum fungsional bisa mengatakan mau kaca, kayu, kardus, foam, atau tembikar, tembaga, pun besi, semua sama saja bisa untuk menampung air minum dan membawa air ke mulut. Karena pusatnya adalah fungsi dari alat itu.
Ahli kimia, melihat gelas dari kaca, akan menganalisis ini tahan panas atau tahan dingin karena proses dan komposisinya demikian. Jika pembakaran durasi waktunya kelamaan atau kurang, akibatnya adalah ini. Untuk menambah daya tahan namun tetap artistik perlu penanganan demikian.
Orang yang bergerak dalam bidang kuliner, akan melihat fungsi, keindahan sebagai daya tarik, dan juga alat yang handal dan serba guna. Â Mereka akan memilih yang bisa menjual dagangannya dengan daya pikat tinggi, dimungkinkan untuk panas ataupun dingin, berbeda juga dengan ahli-ahli lain yang memilih spesifikasi. Sangat mungkin.
Pemikir yang berdasar ilmu matematika bisa saja menghitung lekukan, ketebalan terhadap daya tahan pada benturan, dan seterusnya. Â Mendengar suara dentingan, naluri keilmuannya aka n berimajinasi soal bahan yang dipakai untuk menyusun gelas tersebut.
Semua itu apakah salah? Jelas bisa menjadi persoalan berkepanjangan jika klaim-klaim masing-masing dipaksakan sebagai kebenaran mutlak dengan menyingkirkan kebenaran yang juga memang demikian. baru satu jenis barang, gelas kaca, bagaimana  jika berbicara mengenai Ketuhanan.