Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revolusi Mental dan Asian Games

31 Agustus 2018   09:00 Diperbarui: 31 Agustus 2018   09:14 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cukup menarik menyaksikan tampilan Asian Games kali ini, bagaimana gegap gempita yang ternyata bisa berlangsung dengan  cukup baik. Selama ini begitu riuh rendahnya tuntutan revolusi mental yang seolah-olah terabaikan. Namun bukti justru yang bobrok dan rusak justru ada di pucuk, elit, dan lingkaran utama kekuasaan itu sendiri. Selain korupsi, terorisme, dan keyakinan yang abai akan Pancasila, bisa dilihat dari dua kisah soal menonton Asian Games.

Kisah pertama, pimpinan KPK yang "diusir" padahal memiliki karcis sesuai dengan seluruh ketentuannya. Kelas, nomor, dan segala tetek bengeknya sudah sesuai, dengan dalih adanya undangan lain, pimpinan itu diminta pindah. Selengkapnya dan sedetailnya bisa dicari sendiri, paling tidak, intinya demikian.

Kisah kedua, anggota dewan yang merasa memiliki pass, dan menonton pertandingan berulang. Pengakuan pihak satu itu adalah pass untuk bekerja, bukan menonton. Sisi dewan, jelas mengaku bahwa itu adalah karcis untuk bisa menonton, dan banyak pihak lain yang bisa kog mengapa saya tidak bisa.  Ini pun intinya demikian, detailnya bisa dicari sendiri.

Bisa saja memang kedua peristiwa itu kesalahan pada pihak penyelenggara, namun melihat rekam jejak dan sikap yang diambil memperlihatkan bahwa sikap baik dan perubahan sebagai tuntutan revolusi mental lagi-lagi masih sama saja. KPK jelas terdepan untuk memberikan contoh dan bukti perubahan. Dan dewan lagi-lagi buncit urusan demikian.

Apa yang dinyatakan pimpinan KPK tidak ada bantahan yang berseberangan alibi oleh panitia, bisa menjadi indikasi memang ada kebenaran dan adanya masalah soal tiket. Indikasi lebih benar bahwa kejadian itu karena panitia yang abai, di mana pimpinan KPK memiliki tiket. Hingga hari ini toh tidak ada pernyataan lain. Tidak juga berpolemik atau membela diri melalui media sosial. Jauh lebih bisa dipercaya.

Apa yang terjadi pada kisah kedua, ada dua versi yang memiliki kecenderungan bertolak belakang dan tidak ada titik temu yang dinyatakan bersama sebagai bukti penyelesaian itu. Salah satu pihak melakukan klarifikasi melalui media sosial, sangat disayangkan mengapa tidak memperlihatkan photo tiket jika memang ada, dan itu jelas lebih mudah bukan?

Revolusi mental itu bukan sesederhana membalik telapak tangan, sebuah perjuangan mahakeras karena kerak keenakan banyak pihak yang hendak dipangkas. Distribusi yang selama ini adalah hal elitis itu hendak dikembalikan kepada seluruh yang berhak sesuai dengan porsinya. Bagaimana tidak marah yang sudah terbiasa enak dan kini harus sama dengan yang lain.

Mentalitas pangkreh praja, pegawai dan pejabat ala Belanda yang memang dibuat nyaman, banyak fasilitas, dan kemudahan dengan menekan pihak lain sebagai sarana menyenangkan mereka agar setia. Hal yang ternyata diteruskan oleh para pejabat pemerintahan negara sendiri. Miris sebenarnya, penjajah pergi dengan darah para pejuang, kini dijajah oleh para anak negeri yang berjiwa kolonial itu.

Perubahan itu tidak enak. Jelas lah nyaman sekian lama petentang-petenteng, nol prestasi, kerja sedikit minta gaji besar, sunat sana sunat sini, kalau ada apa-apa harus yang pertama dan utama. Hal yang dulunya hal biasa, lumrah, dan dianggap sebagai bagian atas jabatan. Pun masuk ke sana itu THR, sangu uang saku kalau kunjungan dan oleh-olehnya, kadang keluarganya pun pesan ini dan itu, semua biasa. Emang mau berubah dari yang enak begitu? Jelas enggan lah. Enak kog ditinggal.

Reformasi birokrasi ternyata masih jauh dari harapan. Efektifitas sistem mungkin sudah bisa, namun perilaku, apa sudah berubah jauh atau masih sama saja? Saber pungli bisa saja digalakan untuk memberangus sikap tamak yang sudah berhasil di mana-mana. Sikap arogan dan merasa berhak dilayani seperti ini? Susah bukan?  

Penyelesaian persoalan seperti ini selalu saja atas nama kekeluargaan. Kekhilafan, dan ketidaksengajaan. Hal yang bisa dikatakan omong kosong kanak-kanak yang membosankan sebenarnya. Bagaimana bisa kedudukan begitu tinggi tidak tahu aturan, selalu saja atas nama khilaf, dan belum ada juga pernyataan ini. Atas nama kekeluargaan namun selalu terulang, dengan konteks yang hampir sama sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun