Karpet merah merupakan kiasan di mana tempat teragung, tempat di mana fasilitas tingkat tinggi yang bisa merasakan. Era ini yang paling diingat memang gelaran Piala Oscar yang bergaya mewah, elegan, dan ekslusif tersebut.Â
Sejarah panjang karpet merah memang berkaitan dengan yang berbeda, kerajaan, anggota kerajaan, tokoh penting dan utama saja. Membedakan biasa dan yang elit. Mengapa tercipta demikian, dulunya pewarna merah tua sangat mahal, dan komoditi yang mahal, jadi susah memiliki bahan yang mau diinjak-injak saja perlu yang mahal.
Berkaitan dengan konteks ini tentu bahwa tiket yang akan mengantar Sandiaga Uno untuk menjadi presiden. Kalau Indonesian Idol, tentu golden ticket, bahkan platinum ticket, yang akan membawa ke tingkat yang lebih elit lagi. Kondisi piplpres kali ini adalah keadaan serba berhitung sangat cermat dengan kondisi bukan hanya 2019, namun juga 2024.Â
Siapa yang akan menggantikan presiden yang menang di periode 2019. Jika Jokowi menang berarti sudah tidak bisa lagi mencalonkan diri lagi, dan jika  memang Prabowo-Sandi yang menang, tentu akan menjadi tiket bagi Sandi untuk melaju kembali dan naik posisi. Prabowo sendiri tentu sudah cukup puas dan cukup tua untuk kembali berkompetisi dan menjadi presiden untuk lima tahun lagi. Keadaan yang paling menguntungkan bagi Sandi.
Partai-partai pengusung tentu sudah saling intai, intip, dan berhitung, jangan sampai jagoan sendiri malah tersisih karena pilihan di saat ini. Sangat logis apa yang dinyatakan Ruhut, bahwa Demokrat tentu saat ini setengah hati di dalam mengusung Prabowo-Sandi. Tidak heran bukan sering terdengar kalau mendukung Prabowo namun bukan Sandi, meskipun tidak ada gunanya juga.
Partai-partai lain tidak sesibuk berhitung sebagaimana SBY dan Demokratnya, bagaimana ia dan Demokrat sudah sejak jauh-jauh hari mengarahkan AHY untuk menjadi suksesor tidak langsung sang bapak di istana. Jalan pertama tentu masih diingat ketika harus  meninggalkan militer demi Pilkada DKI, apadaya putaran pertama sudah tereliminasi.
Sepanjang usai pilkada DKI menggeber AHY agar bisa naik setara dengan Prabowo dan Jokowi, bersafari ke elit politik, bergerilya politi ke daerah-daerah, membuat the Yudhoyono Institute, dan jelas pada puncaknya ketika mendekati pendaftaran pasangan pilpres, makin intens membicarakan posisi AHY untuk wapres, ke kubu Jokowi dan kawan-kawan, pun ke Prabowo dan kawan-kawan.
Pilihan SBY ternyata mau menjadi pendamping Prabowo, yang secara tiba-tiba ternyata memilih Sandiaga Uno. Sangat wajar, ketika PKS dan PAN, tentu tidak mau kehilangan momentum untuk tidak berpartisipasi di dalam pilpres secara langsung. Apalagi PKS selalu mengalah dari 2014, pilkada DKI 2017, dan tentu tidak mau lagi-lagi mengalah. PAN pun tidak mau juga memberikan tiket demikian saja kepada "rival."
Posisi Demokrat yang tidak kerja keras bersama di pilpes 2014, pilkada DKI 2017, dan sepanjang perjalanan "berkoalisi" empat tahun belakangan, membuat posisi mereka serba canggung. Padahal jelas satu slot telah khusus dipesan untuk AHY.Â
Suara memang cukup besar, namun melihat pusaran KTP-el yang telah menyeret etya Novanto tentu berharap banyak pada Demokrat banyak yang tidak yakin. Jangan-jangan di tengah proses pilpres, ada lagi tsunami KTP-el yang menjerat elit mereka. Remuklah koalisi itu. Belum lagi monumen mangkrak Hambalang.
Posisi demikian, membuat Demokrat sangat lemah posisi tawar di antara dua kutub. Ketika menyatakan dukungan ke Prabowo dengan seperempat nyawa ini, sangat riskan membaca mereka akan sepenuh daya untuk mendukung Prabowo-Sandi menjadi kandidat terbaik. Jadi ada ketersalingan juga sebenarnya. Hal yang sangat riskan jika tidak diatasi dengan baik dan bijaksana.